Tuesday, July 19, 2016

Tugas Kuliah Analisis Ketika Tuhan Jatuh Cinta





M. Zuhri zamzami
2130710100


Ketika Tuhan Jatuh Cinta


Penulis; Daniel Titto Wahyu Sujani


Dalam novel ketika tuhan jatuh cinta ini menceritakan seorang lelaki yang bernama Ahmad Hizazul Fikri,seorang mahasiswa yang juga seniman pasir,Fikri bukanlah anak yang berasal dari keluarga yang mampu,orang tuanya hanya berprofesi sebagai penjual gorengan di pasar,ia memiliki seorang adik bernama Humaira yang masih duduk dibangku SMA.Fikri membantu orang tuanya dengan cara membuat karya seni yang bahan-bahan bakunya dari pasir,kemudian dititipkan di beberapa galeri-galeri toko antik yang berada di kota itu.Mimpinya begitu besar,ia ingin menjadi sosok yang sukses,agar tidak  melihat lagi orang tuanya membanting tulang untuk mememnuhi kebutuhan keluarga.
Sungguh penuh liku yang kadang begitu dramatis dan menguras kekuatan hidup,sebagai bukti cintanya atas kejernihan spiritual dan kepekaan rasa kemanusiaan Fikri yang menonjol,Allah terus mengujinya dengan banyak cara.Pertama,gadis pujaan yang dicintainya selama 4 tahun menikah dengan orang lain karena dijodohkan.Kedua,orang tuanya meninggal dalam kecelakaan bus yang hendak membawanya ke Demak untuk berziarah.Ketiga,ketika adiknya Humaira hendak pulang dari sebuah toko membeli bahan-bahan bingkai untuk kakaknya,ia ditabrak lari oleh sebuah mobil sedan yang melaju dengan kencang hingga membuatnya mati seketika.
         Fikri adalah manusia tegar yang tidak pernah putus asa,dialah sosok lelaki yang dicintai oleh siapapun,terutama para perempuan,adapun perempuan yang diceritakan dalam novel ini yaitu;Leni,gadis dicintainya,yang sudah menjanda,karena tidak mencintai suaminya,hatinya hanya untuk fikri seorang.Lidya,seorang gadis Tionghoa muallaf  yang telah dianggap Fikri sebagai adiknya sendiri.Alzena seorang gadis Malaysia yang mencintai Fikri dengan setulus hati dan terakhir Shira,seorang gadis bermata biru berdarah Paris dan Mesir.Keempat gadis itu,masing-masing memiliki rasa cinta yang mendalam kepada Fikri,akan tetapi Fikri harus memilih dari sekian gadis yang menyentuh hatinya itu.
Hingga akhirnya dengan shalat tahajjud dan istikhorah yang dilakukannya,Tuhan menghadiahkan Shira untuknya gadis bermata biru yang akan menjadi pendampingnya dunia akhirat,dan Fikri pun telah menjadi orang yang sangat sukses,dia kini menjadi seniman pasir ternama,berkat kaligrafi cinta yang dijualnya seharga 2,5 milyar,dia pun telah menjadi bulan-bulanan wartawan atas kesuksesannya itu.



Feminisme ; karena diceritakan dalam kisah ini Leny yang berpacaran dengan vikri selama 4 tahun lamanya harus kandas begitu saja oleh perjodohan orang tuanya.
Seorang wanita yang harus patuh pada seseorang demi ridhonya tetapi tekanan batin yang dialami sangatlah mnyiksa hingga harus merelakan kosah cintanya.
Tidak terjadi hanya pada lenny saja feminisme ini melainkan pada Lidya gadis tionghoa yang mengalami over dosis karena frustasi kepada seorang lelaki yang membuatnya hamil dan pergi begitu saja yang sebelumnya ayah Lidya meninnggal karena serangan jantung ketika pertengkaran yang terjadi Lidya dengan Irul yang membahas kehamilannya dan tak sengaja mendengar hingga ayah Lidya meninggal seketika akibat seranga jantung yang dideritanya.

ANALISIS RONGGENG DUKUH PARUK



M.SAHLI MUSTHOFA
2130710074
PBSI VC

ANALISIS RONGGENG DUKUH PARUK

Ronggeng Dukuh Paruk adalah sebuah novel yang menceritakan kehidupan seorang ronggeng yang bernama Srintil. Novel ini berlatar tempat di Dukuh Paruk. Dukuh Paruk merupakan sebuah kampung terpencil yang merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Dawuhan. Sedangkan, latar waktunya adalah sekitar tahun 1965-an.
  1. Tema
Ronggeng Dukuh Paruk bertemakan tentang budaya, adat istiadat dan keterbelakangan. Masalah adat.
Latar
Latar Tempat
Novel Ronggeng Dukuh Paruk berlatar utama di pendukuhan yang bernama Dukuh Paruk.
Dua pululuh tiga rumah berada di pendukuhan itu, di huni oleh orang-orang seketurunan. Di Dukuh Paruk inilah akhirnya Ki Secamenggala menitipkan darah dagingnya (hal: 10)
Di tepi kampung
Di tepi kampung ini menjadi latar rasus dan temannya Darsun dan Warta mencabut batang singkong yang menjadi cerita pertama yang terdapat dalam novel (hal: 10).
Di pelataran yang membatu di bawah pohon nangka
Tempat tersebut merupakan tempat srintil sering bermain dengan mendedangkan lagu kebanggan para ronggeng. Selain itu di bawah pohon nangka srintil sering menari dan bertembang (hal: 13).
Di halaman rumah Kartareja
Tempat ini menjadi bagian dari upacara sacral yang dipersembahkan kepada leluhur Dukuh Paruk sebelum menuju pekuburan dukuh paruk (hal: 45)
Di Pekuburan Ki Secamenggala
Latar ini syarat srintil untuk menjadi seorang ronggeng yaitu srintil melakukan upacara pemandian di pekuburan ki secamenggala (hal: 46)
Pasar Dawuan
Tempat ini adalah tempat yang dituju rasus ketika meninggalkan Dukuh paruk. Hal ini secara implicit terdapat dalam kutipan berikut.
“Sampai hari-hari pertama aku menghuni pasar Dawuan, aku menganggap nilai-nilai yang kubawa dari Dukuh Paruk secara umum berlaku pula di semua tempat (hal: 84).”

Di Hutan
Tempat ini menjadi tempat berburu Rasus, Sersan slamet dan Kopral Pujo (hal: 95)
Di Rumah Sakarya
Latar ini menjadi tempat pertama yang di datangi oleh perampok ketika ingin merampok harta milik srintil, tapi saat itu srinti sedang berada di rumah kartareja, hingga akhirnya perampok berbelok ke rumah kartareja (hal: 101)
Di Beranda Rumah Nenek Rasus
Tempat ini menggambarkan ketika rasus pulang kerumah neneknya ketika dia selesai menangkap perampok yang ada di Dukuh Paruk, tapi kemudian di kembali menjadi tobang(hal: 103)
2.Latar Waktu
  1. Sore hari
  1. Tengah malam
  1. Tengah hari (Siang)
  1. Pagi
  1. Malam hari
  1. Tokoh dan Penokohan
Srintil : Sebagai seorang ronggeng yang cantik berperawakan menarik serta perempuan yang sempurna fisiknya yang dianggap sebagai titisan dari Ki Secamanggala.
Rasus: dilukiskan sebagai seorang pemuda rakyat biasa yang tidak mempunyai status kebangsaan, tinggal di daerah terpencil yang mempunayi status rendah, kurang pengetahuan serta mudah rapuh. 
  1. Santayib memiliki sifat keras, tidak mudah putus asa, dan penyayang.
  2. Istri santayib mempunyai sifat baik, patuh, dan penyayang.
  3. Nenek Rasus, memiliki sifat penyayang, sabar dan pikun.
  4. Sakarya, (kakek Srintil) memiliki sifat kolot, keras, dan penyayang
  5.  Nyai Sakarya (nenek Srintil) mempunyai sifat penyayang, penyabar dan peduli kepada orang lain (tetangga), namun dia tetap tunduk pada nasibnya sebagai rakyat kecil.
  6. Sakum memiliki sifat tekun,baik, optimis akan hidupnya,.
  7. Ki Kertareja memiliki sifat kolot, keras, penyayang, licik.
  8. Nyai Kartareja memiliki sifat materialistis, pandai membujuk dan licik.
  9. Sersan Pujo mempunyai sifat baik dan tegas.

  1. Alur Cerita
Cerita dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk diawali dengan peristiwa yang menunjukkan alur mundur, yaitu peristiwa malapetaka yang terjadi di Dukuh paruk akibat keracunan tempe bongkrek. Hal ini tergambar dari kutipan berikut.
Sedangkan pada bagian kedua dan seterusnya menggunakan alur maju yang menceritakan tentang inti dari cerita novel Ronggeng Dukuh Paruk, yaitu kisah Srintil dengan Rasus dan kisah Srintil yang menjadi Ronggeng.
Sudut Pandang
Orang pertama pelaku utama
Aku mengenal dengan sempurna setiap sudut tersembunyi di Dukuh paruk. Ketika kartareja bercakap-cakap dengan Dower, aku mendengarnya dari balik rumpun pisang di luar rumah. (hal: 59-60)
 Ronggeng Dukuh Paruk dalam Kajian Karya Sastra Feminis

Novel berjudul Ronggeng Dukuh Paruk ini bercerita tentang seorang tokoh bernama Srintil yang menjadikan profesi ronggeng sebagai jalan pilihan hidupnya di kala usianya yang tergolong masih sangat muda. Profesi ini ia pilih karena sang tokoh memiliki bakat menari sedari kecil.
Siapa yang akan percaya, tak seorang pun pernah mengajari Srintil menari dan bertembang. Siapa yang akan percaya, belum sekali pun Srintil pernah melihat pentas ronggeng. Ronggeng terakhir di Dukuh Paruk mati ketika Srintil masih bayi. Tetapi di depan Rasus, Warta, dan Darsun, Srintil menari dengan baik …(hlm:13).
     Novel ini juga mengangkat perempuan dari sisi seksual. Seks digunakan dalam hal pemertahanan budaya di Dukuh Paruk. Srintil harus menjual tubuh dan virginitasnya hanya untuk menghormati leluhur yang disebut Ki secamenggala. Jual-beli tubuh, seks dan tubuh Srintil berusia dua belas tahun. Srintil dalam usia itu belum tahu tentang arti keperawanan atau nikmatnya seks. Srintil tokoh utama, hanya menuruti perintah dukun ronggeng, Nyai Kartareja. walaupun indung telurnya dipijat hingga Srintil tidak hamil atau melahirkan anak. Ini adalah sebuah penindasan dan pemaksaan perempuan terutama untuk mengeruk keuntungan bagi laki-laki atau perempuan yang memeras, pemanfaatan oerempuan terutama seks yang berhubungan dengan persetubuhannya dengan laki-laki untuk keuntungan sendiri atau sebuah kelompok komunitas terhadap perempuan dengan dalil pemertahanan budaya atau menghormati leluhur. Perempuan digunakan sebagai alat untuk kepentingan tertentu. Millet mengatakan bahwa ini sebagai “ politika seksual’. Eksploitasi seksual di dalam novel ini sangat kental (intensif). Hal ini dibuktikan dengan teks-teks cerita dari awal hingga akhir cerita memunculkan kisah berahi dan penindasan terhadap perempuan dari sisi tubuh dan seks.
“Aku menduga keras Srintil mulai dihantui kesadaran bahwa Nyi Kertaraja telah memijat hingga mati indung telurnya, peranakannya. Suami isteri dukun ronggeng itu merasa perlu berbuat demikian sebab hukum Dukuh Paruk mengatakan karier seorang ronggeng terhenti sejak kehamilannya yang pertama….” (Tohari, 2004:90)
      Millet menyampaikan bahwa perempuan sering diangkat dalam sebuah karya sastra sebagai usaha “politika seksual”. Srintil digambarkan sebagai tokoh perempuan yang selelu ditindas dan dimanfaatkan oleh Nyi Kartaraja agar ia bisa hidup dan melangsungkan kehidupannya tanpa harus bekerja. Ini adalah sebuah penindasan dan politisasi perempuan dengan mengatasnamakan buadaya untuk menjual tubuh dan seksual perempuan. “Politika seksual” sering dilakukan tokoh lainnya untuk mengekploitasi seksual Srintil. Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan beragam cara dengan alasan-alasan feodal, yakni manut atau patuh terhadap kepada atasan. Hal ini dapat diperjelas dalam kutipan berikut.
“Kamu telah mengecewakan seorang priyayi: suatu hal yang tidak layak dilakukan oleh orang dusun seperti kita ini. Oalah, cucuku, kamu tidak menyadari dirimu sebagai kawula… kita kawula, kita wajib tunduk kepada perintah, bahkan keinginan para penggawa itu. Menampiknya, sama saja mengundang hukum. Nah, beranikah kamu melakukannya?” (Tohari, 2004:162)
Ekploitasi seksual yang menggambarkan tubuh dan berahi sering diungkap dalam novel ini.
“Rasanya, sebagai anak laki-laki tak ada yang salah pada tubuhku. Melihat Srintil telanjang bulat di hadapanku, aku teringat kambing jantanku bila sedang berahi. Jantung memompa darahku ke segala penjuru. Pada bagian organ tertentu, arteri begitu padat berisi darah hingga mengembung dan menegang. Kehendak alam terasa begitu perkasa menuntunku bertindak.” (Tohari, 2004: 67)
Tubuh perempuan terkadang sangat indah untuk dilukiskan. Akan tetapi, pelukisan itu sering cabul dan merendahkan nilai-nilai keperumpuanan. Tubuh telanjang milik Srintil adalah penggambaran tokoh dengan mengekploitasi seks dan tubuhnya. Laki-laki dapat menikamti tubuh perempuan secara gratis. Ini adalah sebuah bentuk eksploitasi seksual yang dilakukan pengarang untuk menggambarkan tokoh Ronggeng Dukuh Paruk. Ronggeng menurut versi Dukuh Paruk adalah perempuan yang manari dengansemangat berahi yang tinggi. Selain itu, ronggeng harus melayani seks lelaki yang haus ketika istri-istri mereka tidak dapat memuaskan nafsunya. Oleh karena itu, siapa pun perempuan itu, termasuk Srintil harus melalui persyaratan ritual, yakni melalui tahapan ritual bukak klambu. Bukak klambu adalah upacara dalam bentuk sayembara diperuntukkan kepada para lelaki yang ingin menikmati tubuh perawan. Laki-laki yang mengikuti sayaembara ini harus memberikan mas kawin atau harta kepada dukun ronggeng. Setelah itu, laki-laki itu berhak untuk menikmati virginitas seorang perempuan calon ronggeng.
“Bagiku, tempat tidur yang akan menjadi tempat pelaksanaan malam bukak klambu bagi Srintil tidak lebih dari sebuah tempat pembantaian…. Sesudah berlangsung malam bukak klambu, Srintil tidak suci lagi. Soal dia kehilangan keperawanannnya, tidak begitu terasakan….” (Tohari, 2004:53)
Kutipan itu adalah bentuk eksploitasi seksual terhadap Srintil. Nyai Kartareja selaku dukun ronggeng memeras Srintil untuk memperoleh harta dari para lelaki. Ini adalah sebuah penindasan terhadap perempuan. Laki-laki diibaratkan memiliki kekuasaan dan harta. Perempuan hanyalah aset yang bisa dijual dan dibeli. Perempuan adalah sebuah nasib yang tidak dapat menolak kekuasaan laki-laki.
Penindasan dan pemaksaan itu membuat Srintil kasihan kepada laki-laki yang dicintainya. Oleh karena itu, sebelum upacara bukak klambu, ia mempersembahkan perawannya untuk Rasus yang mana pada saat itu, usia Rasus baru empat belas tahun. Persetubuhan laki-laki dan perempuan pun terjadi di belakang rumah Nyai Kartareja. Nyai Kartareja ketika itu terlalu sibuk untuk menawarkan tubuh dan perawan Srintil.
”Srintil?” tegurku dengan suara berbisik. ”Jangan terkejut. Aku Rasus.”
”Oh!” seru Srintil tertahan. Dia cepat bangkit, merangkulku sekuat tenaga. ”Rasus. Dengar, mereka bertengkar di luar. Aku takut, sangat takut. Aku ingin kencing!”
”Sudah kencing?”
”Sudah. Tetapi aku takut. Rasus, kau sungguh baik. Kau ada di sini ketika aku sedang diperjual-belikan.”
”Ya.”
Masih merangkul kuat-kuat, Srintil mengisak. Kubiarkan dia karena aku pun tak tahu apa yang harus kuperbuat. Kurasakan tubuh Srintil hngat dan gemetar.
”Aku benci, benci. Lebih baik kuberikan padamu. Rasus, sekarang kau tak boleh menolak seperti kaulakukan tadi siang. Di sini bukan pekuburan. Kita takkan kena kutuk. Kau mau, bukan?”
 “Sepatah kata pun aku tak bisa menjawab. Kerongkonganu terasa tersekat. Karena gelap aku tak dapat melihar dengan jelas. Namun, aku merasakan Srintil melepaskan rangkulanku, kemudian sibuk melepaskna pakaiannya.
Tidak berbeda dengan pengalaman tadi siang di Pekuburan Dukuh Paruk…..Aku tak dapat emlihat sosok tubuh Srintil dengan jelas, meski aku yakin saat itu dia sudah telanjang bulat.
……Srintil merasakan sesuatu yang menyenangkan. Tetapi entahlah karena aku hanya merasa telah memperoleh sebuah pengalaman yang aneh.” (Tohari, 2004: 76)
Ronggeng Dukuh Paruk telah menggambaran kesalahan pada cara masyarakat memandang seksualitas perempuan.
Resistensi perempuan dalam karya sastra Ronggeng Dukuh Paruh ini, Srintil akan dilihat sebagai bentuk ketertindasan dan kekalahan perempuan dihadapan laki-laki. Srintil dalam paparan tersebut, seakan merepresentasikan seorang perempuan yang tertindas, objek kekerasan seksual, tidak berdaya sekaligus dianggap sebagai sosok yang dipinggirkan, dimarjinalisasi, dilecehkan yang terkesan mengenaskan. Sebuah kontruk identitas monolitik tunggal, sebagai korban budaya patriaki, tidak berpendidikan, terikat tradisi, domestik, dan selalu menjadi korban.
Eksploitasi seksual dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk digambarkan ketika desa Alaswangkel menggelar upacara Gowok. Upacara Gowok adalah uapacara pematangan laki-laki sebelum memasuki masa pernikahan. Oleh karena itu, laki-laki itu harus diajarkan berhubungan seksual dan cara-cara mengatur rumah tangga. Pada masa ini, perempuan lagi-lagi dieksploitasi secara lebih dalam. Perempuan, Srintil, selain harus melayani laki-laki, ia juga harus mengajari laki-laki yang sedang diupacarai untuk berhubungan seksual. Pelajaran yang dilakukan Srintil kepada laki-laki itu dari cara merangkul, mencium, sampai berhubungan seks.
“Seorang gowok akan memberi pelajaran kepada anak laki-laki. Dari keperluan dapur sampai mempersiapkan seorang perjaka agar tidak mendapat malu pada malam pengantin baru. “ (Tohari, 2004: 201)
Gowok akan mengajari laki-laki yang belum memiliki pengalaman dalam mengarungi rumah tangga, terutama masalah seks. Waras adalah tokoh yang diceritakan sebagai tokoh remaja yang diupacarai. Waras belum memiliki wawasan tentang seks dan persetubuhan. Oleh karena itu, sebelum memasuki masa perkawinan, Waras harus diajarkan seorang Gowok, Srintil.
“Tidak, Kang. Nanti malam kita hanya akan tidur berdua. Aku dan Kakang….
Waras bangkit memeluk Srintil, mendekapnya dan menciuminya. Srintil pasrah saja.” 9Tohari, 2004: 214)

Menurut kajian feminis, Srintil adalah perempuan yang selalu didudukkan sebagai pihak yang tertindas oleh kekuasaaan laki-laki dan hegemoni adat yang ada di desa Dukuh Paruk. Srintil tidak dilukiskan sebagai perempuan yang cerdas dan mandiri. Ia dilukiskan sebagai perempuan yang patuh dan penurut. Ia lebih dilukiskan sebagai penguasa ranjang untuk kehausan laki-laki. Ini adalah sebuah penindasan terhadap perempuan.
            Eksploitasi seksual oleh tokoh dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk memberikan dampak kepada tokoh perempuan Srintil. Dampak dominan yang muncul adalah dampak psikologi. Dampak psikologi yang jelas muncul adalah tentang hubungannya dengan laki-laki. Profesi Srintil sebagai ronggeng ternyata tidak selamanya berlangsung. Pada usia keduapuluhtiga, ia mulai sadar bahwa tubuh dan seks adalah hal yang penting bagi perempuan. Ia percaya bahwa kesempurnaan hidup seorang perempuan adalah perkawinan. Srintil mulai sadar bahwa perkawinan adalah sesuatu hal yang sangat penting. Akan tetapi, eksploitasi seksual yang telah dilakukan terhadap dirinya membuat kendala psikologis untuk mrnikah dengan Rasus, laki-laki yang dicintainya. Rasus pun menolak dengan alasan bahwa Srintil adalah seorang ronggeng. Seorang ronggeng berarti adalah sundal. Hal itu tidak tepat untuk dirinya yang menjadi seorang tentara.
            Selain itu dampak lain dari eksploitasi seksual bagi Srintil adalah ia gila. Gangguan psikologi yang parah dialami Srintil adalah gila atau gangguan jiwa. Hal ini disbebkan oleh ketenarannya ketika menari ronggeng dalam kancah pemilu (politik 1965). Ketika itum ia mengabdi kepada tokoh yang terlibat pada pembantaian jenderal-jenderal di Jakarta. Ia pun menjadi tersangka utama dalam pembantaian itu. Anehnya, Srintil tidak mengerti tentang politik. Ia terjebak dalam politik. Ia pun dipenjara.
“Ada suara perempuan mengisak diantara tahanan yang berjejal itu. Dalam sedetik lintasan tidurnya dia menggunting alam nyata dan terbang dalam hidup yang biasa, hidup bersama suami dan anak-anak. Tetapi, ketika tersadar didapati dirinya terbenam dalam ruangan penuh sesak oleh manusia sepenagnggungan, dalam kelengasan udara yang lembab oleh uap air kencing dan keringat. Dia terus mengisak. “ (Tohari, 2004: 248)
Srintil gila. Gangguan jiwa itu lebih disebabkan oleh cinta yang dimilikinya tidak terwujudkan untuk memiliki Rasus atau Bajus. Bajus, lelaki yang juga dicintainya ternyata impoten. Ia pun tidak jadi menikah dengan Bajus. Penderitaan Srintil tidak berakhir disitu, ia sangat terluka, ternyta, Bajus yang impoten menjual dirinya kepada kontraktor ternama asal ibu kota. Inilah yang membuatnya gila. Sementara itu, Rasus tidak menyangka jiak Srintil gila.
“Terasa urat-urat pengikat semua sendi tubuhku melemah. Apa yang terungkap oleh mata amat sulit karena menjadi pengertian dan kesadaran. Srintil yang demikian kusut dengan celana kotor sampai ke lutut serta kaos oblong yang robek-robek. Srintil yang duduk diatas sesuatu, mungkin kotorannya sendiri. Srintil hanya menoleh sesaat kepadaku lalu kembali berbicara sendiri. Dan pelita kecil dalam kamar mandi itu melingkupi citra punahnya kemanusiaan pada diri bekas mahkota Dukuh Paruk itu.” (Tohari, 2004: 395).
Unsur-unsur feminisme yang terdapat pada novel ini begitu terasa salah satunya disebabkan karena novel ini mengangkat isu ketimpangan gender. Novel ini mengisahkan relasi antara perempuan dan laki-laki di daerah pedalaman, tepatnya di dukuh paruk. Energi ideologi gender yang diangkat dalam novel ini berlatar kehidupan seorang penari ronggeng di masa isu pemberontakan komunis di Indonesia.

Daftar rujukan
Tohari, Ahmad. 2003. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Wellek, Rene dan Warren, Austin. 1995. Teori Kesusastraan (terjemahan Melani Budianta).Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.  
Yasa, I Nyoman. 2012. Teori Sastra dan Penerapannya. Bandung: Karya Putra Darwati

Cerpen Kui yang Mencekik



Cerpen Eko Triono (Media Indonesia, 10 Januari 2016)
Kui yang Mencekik
KASMADI Ceceng menghadapi badai masalah dalam kerodong sarung bau lumpur dan koyo sakit gigi yang tak hangat lagi. Adalah hal gila berbagi masalah dengan sampah sungai yang lewat. Apalagi dengan bunga waru kuning yang jatuh dalam hening. Tapi kalau ditahan sendiri, kepalanya bisa jadi balon stres dan dar! Meledaklah jiwanya.
Kasmadi Ceceng bangkit dari duduknya di pinggir kali. Dengan sipat-kuping ia melesat: lepas tambat perahu, ambil dayung kayu, ia belah sungai dan waktu. Lalu perahu sampai di Pelatar—pulau kecil di tengah sungai. Ia ambil galah lanjaran kacang panjang, dan dalam suasana subuh ia lari mengejar kucing-kucing liar di Pelatar. Ia kejar mata yang menyala. Ia lempari. Ia kesandung tegalan, terjerembap belumbangan kebun, terseok tanaman mentimun, tapi ia terus berteriak, ngamuk dengan galah ke arah ngiau kucing liar, ke arah ngiau dalam diri.
Sampai ia lelah, berkeringat, lega, lalu jatuhkan diri. Dan, ia tertidur di atas rumput gerinting berembun, berkalung sarung bau lumpur, berada di sana seolah janin tua yang meringkuk di rahim semesta.
Seperti anggota bajak laut yang sial, Kasmadi Ceceng bangun melihat matahari Rabu dalam keadaan miring di pulau tengah Serayu. Ia sedang menyingkirkan belalang rumput di hidung saat melihat orang gila buangan meloncat-loncat menggapai pisang kluthuk masak di ujung kebun. Kasmadi Ceceng mengenal betul pulau kecil Pelatar ini, sebagaimana ia mengenal jumlah kancing bajunya sendiri. Di tahun-tahun yang ikut terkubur lumpur, Kasmadi muda, yang belum beroleh gelar ‘ceceng’, telah tercatat menemukan pulau itu selepas banjir bandang. Ia menandainya dengan kibaran sarung dan celana dalam setinggi tiang bendera kebangsaan.
Dalam beberapa tahun, pulau itu semakin bermanfaat sebagai ladang pertanian yang subur dan tempat pembuangan kucing, juga orang gila. Namun, menemukan Pelatar tidak membuat Kasmadi Ceceng dikenal mulia atau digunakan dalam peta, dan disebut dalam sejarah lokal. Ia malah dikenal dengan cara mengenaskan. Perhatikan kejadian yang sudah lama terjadi berikut ini.
“Masih saja ngurusi itu, Ceng?” Di warung bawah waru doyong pinggir kali. “Belum kapok apa? Udah nguras semua yang kamu punya.”
“Kiu!” Kasmadi Ceceng mengambil, kemudian menyorongkan benda itu dalam lingkaran pemain lain. “Nggak usah cerewet, Lik!”
Ia tak peduli. Kepada benda dari kertas yang mengandung kemungkinan itu Kasmadi Ceceng telah mempertaruhkan impian terbaik, sekaligus rasa sakitnya. Ia telah sampai menjual pulau penemuannya. Perahu kayunya. Sandal jepit dan pipa tulang kalongnya, bahkan mempertaruhkan dirinya sebagai bahan tertawaan orang. Sudah sejauh itu ia berkorban, apa pantas ia menyerah? Ia mesti menuntut balik kartu-kartu. Menuntut kemungkinan yang bersembunyi di dalamnya. Kemungkinan untuk jadi kaya lagi, jadi bahagia lagi.
Ia bersumpah akan terus bermain kartu mulai dari ceki, remi, dan domino. Ia ingin kembalikan harta dan harkat diri. Peduli setan omongan orang! Orang cuma bisa ngomong, tapi jarang mau menolong. Diam saja saat badai masalah meniupkan beban ke rongga kepalanya, mencekik urat nyawanya.
Di usianya, yang Januari nanti 48 tahun, Kasmadi Ceceng adalah penjudi kolot. “Hidup,” katanya, “hanya mampir judi.” Sesaat kemudian setelah mengisap lisong, “mampir judi, mampir main kartu! Kalau tidak kartu remi, ya kartu pulsa, kartu nama, kartu ATM, kartu tanda penduduk, kartu pemungutan suara, atau kartu kiu!”
Kasmadi Ceceng tertawa bersama orang-orang di pinggir kali tempat tambang pasir tradisional. Itu waktu-waktu badai pertama datang meniupkan masalah ke dalam kepalanya. Menantunya, Senin itu, dikabarkan tenggelam bersama perahu pasir di muara dan hilang ke Samudera Hindia, saat sore mengarah jarum empat seperempat.
Dalam benak Kasmadi Ceceng, menantunya bukan hanya lelaki baik, dalam arti tidak ikut campur soal kegilaan judi mertuanya, tapi juga membantu menjaga kepulan asap dapur rumah bersama. Tapi kematian itu, di mata Kasmadi Ceceng bukan cuma kehilangan. Ada soal lain. Biayanya bikin pusing, mulai dari kenduri hari pertama sampai acara hari keseribu. Ia perlu siapkan makanan dan uang saku, juga sarung-sarung buat bingkisan.
“Pusing itu karena uangmu habis buat judi terus!” Kimah, istrinya menuding. “Apa kalau mati, kamu nggak mau dikirim doa?”
“Jangan keras-keras ngomongnya, gigiku mulai sakit. Duh, sarungku bau lumpur.”
Kimah masam di pinggir kali. Ia memunguti kepiting-kepiting di jaring buat dipelas, dijual keliling. Kasmadi Ceceng pandai menjaring kepiting dengan alat khusus.
“Ya, mau, tapi apa mesti bayar orang buat kiriman doa?” Kasmadi Ceceng makin ngawur di hari Selasa. “Serombongan lagi. Kayak kerja saja, doa dibayar, ngaji digaji.”
“Hush, saru! Orang kalau nggak ngerti agama, ya kayak gitu,” Kimah ngelirik tajam. “Kamu itu udah tua, jangan taunya cuma kiu, remi, ceki. Sana cari tambahan hutang apa gimana.”
Di hari Selasa bulan ini, sebelum ia mengejar kucing-kucing liar, ia hendak main remi. Orang-orang ujung Lembah Serayu dikenal gemar main kartu seolah mereka bikin organisasi sosial. Ada hajatan, malamnya pesta main kartu. Ada wayang, di sudut rumah sekitarnya ada yang main kartu. Ada yang baru lahiran, sunatan, pernikahan, juga demikian. Tapi, tidak pada acara kematian. Seandainya di kematian juga diadakan pesta main kartu, maka benar apa yang dikatakan Kasmadi Ceceng soal hidup.
Hari itu Kasmadi Ceceng kembali dari dukun tua di Gunung Srandil, Ki Sangga Langit, setelah memberesi kepiting dan Kimah meminta dia cari hutang buat tambahan acara ngaji kematian. Ia telah merendam tangannya di bunga tujuh rupa dan meneteskan cairan yang entah apa pada matanya, agar matanya mampu menembus kartu-kartu lawan, agar tangannya mampu mengambil kemungkinan yang benar.
“Apa taruhanmu?” Sakimun mendesak.
“Nyawaku,” Kasmadi Ceceng menempelkan koyo sakit gigi di rahang kanannya.
“Nggak ada mewahnya membunuh orang. Kerja saja sana!”
“Bodoh! Nyawaku bisa kalian pekerjakan sampai mati.”
“Sudah, nguli pasir saja. Kamu udah nggak mampu kiu lagi. Kalau mau di sini, ya lihat saja. Ayo, bagikan!”
Mereka bagi kartu. Tempat mainnya di kebun sisi dipo pasir. Agak tersembunyi di antara pepohonan. Tempat itu memang dekat dengan tambang pasir tradisional. Perahu mesin hilir-mudik. Warung-warung mendoan, kopi, dan nasi rames, berderet. Kuli-kuli tambang pasir di sungai, mengangsur ke sisi sungai, dan memindahkannya ke truk dengan skop. Skop itu yang kemudian dituju oleh Kasmadi Ceceng setelah ia merasa dihina. Ia kembali ke tempat orang berjudi itu. Ia lemparkan ke tengah. Kartu dan kopi jadi kacau. Uang dan latu rokok jadi terserak. Sakimun marah. Bangkit. Berhadap-hadapan dengan Kasmadi Ceceng.
“Dasar rahang menceng, apa maumu?!” Sakimun mulai kasar, menyinggung fisik.
Kasmadi Ceceng menjawab dengan menyerangkan tangannya ke leher Sakimun. Cepat. Mencekik. Gagal dicegah. Sulit ditarik. Kasmadi Ceceng pakai jempot yang biasa digunakan untuk membunuh ikan dan menangkap kepiting. Ia pencet saraf kematian di sana. Hentikan napas Sakimun. Lima penjudi lain kalang kabut melihat Sakimun menggelepar di atas serakan kiu.
Kasmadi Ceceng sudah lari sipat-kuping, menghilang ke kebun-kebun jauh. Seharian orang-orang berteriak dan mencari. Namun, tidak ada yang lebih mengenal Lembah Serayu sebagaimana Kasmadi Ceceng, si penemu pulau Pelatar dan pemilik rahang miring yang konon ditampar gadis pengawal Ratu Gaib Laut Kidul waktu mau minta cium.
Rabu dini hari, Kasmadi Ceceng terlihat duduk berkerodong sarung bau lumpur dengan koyo sakit gigi yang tak hangat lagi. Ia melihat arus sungai dalam bias cahaya malam. Pikirannya menggelembung, hampir dar! Meledak! Lalu ia lampiaskan dengan mengejar kucing-kucing liar di Pelatar. Ia bangun, menyingkirkan belalang rumput, dan melihat orang gila yang meloncat-melanjak pisang kluthuk matang, mendekat. Kasmadi Ceceng cemas. Ia siaga, berdiri. Orang gila dengan sebebat kain di pinggang itu tidak ketawa-ketawa. Orang gila buangan itu malah senyum ramah menyodorkan pisang kluthuk.
“Makanlah,” sesaat kemudian, “aku ngerti susah pikiranmu.”
Orang gila mau mengerti? Ia curiga. Orang waras saja tidak peduli.
“Lihat itu,” orang gila menunjuk seberang sungai, “mereka mau cari kamu ke sini. Pergi cepat sana, atau kalau mau tetap di sini, pura-pura gila saja sepertiku. Itu pilihanmu.” Kasmadi Ceceng melihat dan mendengar dengan saksama orang gila di hadapannya, dan samar-samar ia seperti melihat diri dan mendengar suaranya sendiri. (*)