Tuesday, July 19, 2016

ANALISIS RONGGENG DUKUH PARUK



M.SAHLI MUSTHOFA
2130710074
PBSI VC

ANALISIS RONGGENG DUKUH PARUK

Ronggeng Dukuh Paruk adalah sebuah novel yang menceritakan kehidupan seorang ronggeng yang bernama Srintil. Novel ini berlatar tempat di Dukuh Paruk. Dukuh Paruk merupakan sebuah kampung terpencil yang merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Dawuhan. Sedangkan, latar waktunya adalah sekitar tahun 1965-an.
  1. Tema
Ronggeng Dukuh Paruk bertemakan tentang budaya, adat istiadat dan keterbelakangan. Masalah adat.
Latar
Latar Tempat
Novel Ronggeng Dukuh Paruk berlatar utama di pendukuhan yang bernama Dukuh Paruk.
Dua pululuh tiga rumah berada di pendukuhan itu, di huni oleh orang-orang seketurunan. Di Dukuh Paruk inilah akhirnya Ki Secamenggala menitipkan darah dagingnya (hal: 10)
Di tepi kampung
Di tepi kampung ini menjadi latar rasus dan temannya Darsun dan Warta mencabut batang singkong yang menjadi cerita pertama yang terdapat dalam novel (hal: 10).
Di pelataran yang membatu di bawah pohon nangka
Tempat tersebut merupakan tempat srintil sering bermain dengan mendedangkan lagu kebanggan para ronggeng. Selain itu di bawah pohon nangka srintil sering menari dan bertembang (hal: 13).
Di halaman rumah Kartareja
Tempat ini menjadi bagian dari upacara sacral yang dipersembahkan kepada leluhur Dukuh Paruk sebelum menuju pekuburan dukuh paruk (hal: 45)
Di Pekuburan Ki Secamenggala
Latar ini syarat srintil untuk menjadi seorang ronggeng yaitu srintil melakukan upacara pemandian di pekuburan ki secamenggala (hal: 46)
Pasar Dawuan
Tempat ini adalah tempat yang dituju rasus ketika meninggalkan Dukuh paruk. Hal ini secara implicit terdapat dalam kutipan berikut.
“Sampai hari-hari pertama aku menghuni pasar Dawuan, aku menganggap nilai-nilai yang kubawa dari Dukuh Paruk secara umum berlaku pula di semua tempat (hal: 84).”

Di Hutan
Tempat ini menjadi tempat berburu Rasus, Sersan slamet dan Kopral Pujo (hal: 95)
Di Rumah Sakarya
Latar ini menjadi tempat pertama yang di datangi oleh perampok ketika ingin merampok harta milik srintil, tapi saat itu srinti sedang berada di rumah kartareja, hingga akhirnya perampok berbelok ke rumah kartareja (hal: 101)
Di Beranda Rumah Nenek Rasus
Tempat ini menggambarkan ketika rasus pulang kerumah neneknya ketika dia selesai menangkap perampok yang ada di Dukuh Paruk, tapi kemudian di kembali menjadi tobang(hal: 103)
2.Latar Waktu
  1. Sore hari
  1. Tengah malam
  1. Tengah hari (Siang)
  1. Pagi
  1. Malam hari
  1. Tokoh dan Penokohan
Srintil : Sebagai seorang ronggeng yang cantik berperawakan menarik serta perempuan yang sempurna fisiknya yang dianggap sebagai titisan dari Ki Secamanggala.
Rasus: dilukiskan sebagai seorang pemuda rakyat biasa yang tidak mempunyai status kebangsaan, tinggal di daerah terpencil yang mempunayi status rendah, kurang pengetahuan serta mudah rapuh. 
  1. Santayib memiliki sifat keras, tidak mudah putus asa, dan penyayang.
  2. Istri santayib mempunyai sifat baik, patuh, dan penyayang.
  3. Nenek Rasus, memiliki sifat penyayang, sabar dan pikun.
  4. Sakarya, (kakek Srintil) memiliki sifat kolot, keras, dan penyayang
  5.  Nyai Sakarya (nenek Srintil) mempunyai sifat penyayang, penyabar dan peduli kepada orang lain (tetangga), namun dia tetap tunduk pada nasibnya sebagai rakyat kecil.
  6. Sakum memiliki sifat tekun,baik, optimis akan hidupnya,.
  7. Ki Kertareja memiliki sifat kolot, keras, penyayang, licik.
  8. Nyai Kartareja memiliki sifat materialistis, pandai membujuk dan licik.
  9. Sersan Pujo mempunyai sifat baik dan tegas.

  1. Alur Cerita
Cerita dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk diawali dengan peristiwa yang menunjukkan alur mundur, yaitu peristiwa malapetaka yang terjadi di Dukuh paruk akibat keracunan tempe bongkrek. Hal ini tergambar dari kutipan berikut.
Sedangkan pada bagian kedua dan seterusnya menggunakan alur maju yang menceritakan tentang inti dari cerita novel Ronggeng Dukuh Paruk, yaitu kisah Srintil dengan Rasus dan kisah Srintil yang menjadi Ronggeng.
Sudut Pandang
Orang pertama pelaku utama
Aku mengenal dengan sempurna setiap sudut tersembunyi di Dukuh paruk. Ketika kartareja bercakap-cakap dengan Dower, aku mendengarnya dari balik rumpun pisang di luar rumah. (hal: 59-60)
 Ronggeng Dukuh Paruk dalam Kajian Karya Sastra Feminis

Novel berjudul Ronggeng Dukuh Paruk ini bercerita tentang seorang tokoh bernama Srintil yang menjadikan profesi ronggeng sebagai jalan pilihan hidupnya di kala usianya yang tergolong masih sangat muda. Profesi ini ia pilih karena sang tokoh memiliki bakat menari sedari kecil.
Siapa yang akan percaya, tak seorang pun pernah mengajari Srintil menari dan bertembang. Siapa yang akan percaya, belum sekali pun Srintil pernah melihat pentas ronggeng. Ronggeng terakhir di Dukuh Paruk mati ketika Srintil masih bayi. Tetapi di depan Rasus, Warta, dan Darsun, Srintil menari dengan baik …(hlm:13).
     Novel ini juga mengangkat perempuan dari sisi seksual. Seks digunakan dalam hal pemertahanan budaya di Dukuh Paruk. Srintil harus menjual tubuh dan virginitasnya hanya untuk menghormati leluhur yang disebut Ki secamenggala. Jual-beli tubuh, seks dan tubuh Srintil berusia dua belas tahun. Srintil dalam usia itu belum tahu tentang arti keperawanan atau nikmatnya seks. Srintil tokoh utama, hanya menuruti perintah dukun ronggeng, Nyai Kartareja. walaupun indung telurnya dipijat hingga Srintil tidak hamil atau melahirkan anak. Ini adalah sebuah penindasan dan pemaksaan perempuan terutama untuk mengeruk keuntungan bagi laki-laki atau perempuan yang memeras, pemanfaatan oerempuan terutama seks yang berhubungan dengan persetubuhannya dengan laki-laki untuk keuntungan sendiri atau sebuah kelompok komunitas terhadap perempuan dengan dalil pemertahanan budaya atau menghormati leluhur. Perempuan digunakan sebagai alat untuk kepentingan tertentu. Millet mengatakan bahwa ini sebagai “ politika seksual’. Eksploitasi seksual di dalam novel ini sangat kental (intensif). Hal ini dibuktikan dengan teks-teks cerita dari awal hingga akhir cerita memunculkan kisah berahi dan penindasan terhadap perempuan dari sisi tubuh dan seks.
“Aku menduga keras Srintil mulai dihantui kesadaran bahwa Nyi Kertaraja telah memijat hingga mati indung telurnya, peranakannya. Suami isteri dukun ronggeng itu merasa perlu berbuat demikian sebab hukum Dukuh Paruk mengatakan karier seorang ronggeng terhenti sejak kehamilannya yang pertama….” (Tohari, 2004:90)
      Millet menyampaikan bahwa perempuan sering diangkat dalam sebuah karya sastra sebagai usaha “politika seksual”. Srintil digambarkan sebagai tokoh perempuan yang selelu ditindas dan dimanfaatkan oleh Nyi Kartaraja agar ia bisa hidup dan melangsungkan kehidupannya tanpa harus bekerja. Ini adalah sebuah penindasan dan politisasi perempuan dengan mengatasnamakan buadaya untuk menjual tubuh dan seksual perempuan. “Politika seksual” sering dilakukan tokoh lainnya untuk mengekploitasi seksual Srintil. Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan beragam cara dengan alasan-alasan feodal, yakni manut atau patuh terhadap kepada atasan. Hal ini dapat diperjelas dalam kutipan berikut.
“Kamu telah mengecewakan seorang priyayi: suatu hal yang tidak layak dilakukan oleh orang dusun seperti kita ini. Oalah, cucuku, kamu tidak menyadari dirimu sebagai kawula… kita kawula, kita wajib tunduk kepada perintah, bahkan keinginan para penggawa itu. Menampiknya, sama saja mengundang hukum. Nah, beranikah kamu melakukannya?” (Tohari, 2004:162)
Ekploitasi seksual yang menggambarkan tubuh dan berahi sering diungkap dalam novel ini.
“Rasanya, sebagai anak laki-laki tak ada yang salah pada tubuhku. Melihat Srintil telanjang bulat di hadapanku, aku teringat kambing jantanku bila sedang berahi. Jantung memompa darahku ke segala penjuru. Pada bagian organ tertentu, arteri begitu padat berisi darah hingga mengembung dan menegang. Kehendak alam terasa begitu perkasa menuntunku bertindak.” (Tohari, 2004: 67)
Tubuh perempuan terkadang sangat indah untuk dilukiskan. Akan tetapi, pelukisan itu sering cabul dan merendahkan nilai-nilai keperumpuanan. Tubuh telanjang milik Srintil adalah penggambaran tokoh dengan mengekploitasi seks dan tubuhnya. Laki-laki dapat menikamti tubuh perempuan secara gratis. Ini adalah sebuah bentuk eksploitasi seksual yang dilakukan pengarang untuk menggambarkan tokoh Ronggeng Dukuh Paruk. Ronggeng menurut versi Dukuh Paruk adalah perempuan yang manari dengansemangat berahi yang tinggi. Selain itu, ronggeng harus melayani seks lelaki yang haus ketika istri-istri mereka tidak dapat memuaskan nafsunya. Oleh karena itu, siapa pun perempuan itu, termasuk Srintil harus melalui persyaratan ritual, yakni melalui tahapan ritual bukak klambu. Bukak klambu adalah upacara dalam bentuk sayembara diperuntukkan kepada para lelaki yang ingin menikmati tubuh perawan. Laki-laki yang mengikuti sayaembara ini harus memberikan mas kawin atau harta kepada dukun ronggeng. Setelah itu, laki-laki itu berhak untuk menikmati virginitas seorang perempuan calon ronggeng.
“Bagiku, tempat tidur yang akan menjadi tempat pelaksanaan malam bukak klambu bagi Srintil tidak lebih dari sebuah tempat pembantaian…. Sesudah berlangsung malam bukak klambu, Srintil tidak suci lagi. Soal dia kehilangan keperawanannnya, tidak begitu terasakan….” (Tohari, 2004:53)
Kutipan itu adalah bentuk eksploitasi seksual terhadap Srintil. Nyai Kartareja selaku dukun ronggeng memeras Srintil untuk memperoleh harta dari para lelaki. Ini adalah sebuah penindasan terhadap perempuan. Laki-laki diibaratkan memiliki kekuasaan dan harta. Perempuan hanyalah aset yang bisa dijual dan dibeli. Perempuan adalah sebuah nasib yang tidak dapat menolak kekuasaan laki-laki.
Penindasan dan pemaksaan itu membuat Srintil kasihan kepada laki-laki yang dicintainya. Oleh karena itu, sebelum upacara bukak klambu, ia mempersembahkan perawannya untuk Rasus yang mana pada saat itu, usia Rasus baru empat belas tahun. Persetubuhan laki-laki dan perempuan pun terjadi di belakang rumah Nyai Kartareja. Nyai Kartareja ketika itu terlalu sibuk untuk menawarkan tubuh dan perawan Srintil.
”Srintil?” tegurku dengan suara berbisik. ”Jangan terkejut. Aku Rasus.”
”Oh!” seru Srintil tertahan. Dia cepat bangkit, merangkulku sekuat tenaga. ”Rasus. Dengar, mereka bertengkar di luar. Aku takut, sangat takut. Aku ingin kencing!”
”Sudah kencing?”
”Sudah. Tetapi aku takut. Rasus, kau sungguh baik. Kau ada di sini ketika aku sedang diperjual-belikan.”
”Ya.”
Masih merangkul kuat-kuat, Srintil mengisak. Kubiarkan dia karena aku pun tak tahu apa yang harus kuperbuat. Kurasakan tubuh Srintil hngat dan gemetar.
”Aku benci, benci. Lebih baik kuberikan padamu. Rasus, sekarang kau tak boleh menolak seperti kaulakukan tadi siang. Di sini bukan pekuburan. Kita takkan kena kutuk. Kau mau, bukan?”
 “Sepatah kata pun aku tak bisa menjawab. Kerongkonganu terasa tersekat. Karena gelap aku tak dapat melihar dengan jelas. Namun, aku merasakan Srintil melepaskan rangkulanku, kemudian sibuk melepaskna pakaiannya.
Tidak berbeda dengan pengalaman tadi siang di Pekuburan Dukuh Paruk…..Aku tak dapat emlihat sosok tubuh Srintil dengan jelas, meski aku yakin saat itu dia sudah telanjang bulat.
……Srintil merasakan sesuatu yang menyenangkan. Tetapi entahlah karena aku hanya merasa telah memperoleh sebuah pengalaman yang aneh.” (Tohari, 2004: 76)
Ronggeng Dukuh Paruk telah menggambaran kesalahan pada cara masyarakat memandang seksualitas perempuan.
Resistensi perempuan dalam karya sastra Ronggeng Dukuh Paruh ini, Srintil akan dilihat sebagai bentuk ketertindasan dan kekalahan perempuan dihadapan laki-laki. Srintil dalam paparan tersebut, seakan merepresentasikan seorang perempuan yang tertindas, objek kekerasan seksual, tidak berdaya sekaligus dianggap sebagai sosok yang dipinggirkan, dimarjinalisasi, dilecehkan yang terkesan mengenaskan. Sebuah kontruk identitas monolitik tunggal, sebagai korban budaya patriaki, tidak berpendidikan, terikat tradisi, domestik, dan selalu menjadi korban.
Eksploitasi seksual dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk digambarkan ketika desa Alaswangkel menggelar upacara Gowok. Upacara Gowok adalah uapacara pematangan laki-laki sebelum memasuki masa pernikahan. Oleh karena itu, laki-laki itu harus diajarkan berhubungan seksual dan cara-cara mengatur rumah tangga. Pada masa ini, perempuan lagi-lagi dieksploitasi secara lebih dalam. Perempuan, Srintil, selain harus melayani laki-laki, ia juga harus mengajari laki-laki yang sedang diupacarai untuk berhubungan seksual. Pelajaran yang dilakukan Srintil kepada laki-laki itu dari cara merangkul, mencium, sampai berhubungan seks.
“Seorang gowok akan memberi pelajaran kepada anak laki-laki. Dari keperluan dapur sampai mempersiapkan seorang perjaka agar tidak mendapat malu pada malam pengantin baru. “ (Tohari, 2004: 201)
Gowok akan mengajari laki-laki yang belum memiliki pengalaman dalam mengarungi rumah tangga, terutama masalah seks. Waras adalah tokoh yang diceritakan sebagai tokoh remaja yang diupacarai. Waras belum memiliki wawasan tentang seks dan persetubuhan. Oleh karena itu, sebelum memasuki masa perkawinan, Waras harus diajarkan seorang Gowok, Srintil.
“Tidak, Kang. Nanti malam kita hanya akan tidur berdua. Aku dan Kakang….
Waras bangkit memeluk Srintil, mendekapnya dan menciuminya. Srintil pasrah saja.” 9Tohari, 2004: 214)

Menurut kajian feminis, Srintil adalah perempuan yang selalu didudukkan sebagai pihak yang tertindas oleh kekuasaaan laki-laki dan hegemoni adat yang ada di desa Dukuh Paruk. Srintil tidak dilukiskan sebagai perempuan yang cerdas dan mandiri. Ia dilukiskan sebagai perempuan yang patuh dan penurut. Ia lebih dilukiskan sebagai penguasa ranjang untuk kehausan laki-laki. Ini adalah sebuah penindasan terhadap perempuan.
            Eksploitasi seksual oleh tokoh dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk memberikan dampak kepada tokoh perempuan Srintil. Dampak dominan yang muncul adalah dampak psikologi. Dampak psikologi yang jelas muncul adalah tentang hubungannya dengan laki-laki. Profesi Srintil sebagai ronggeng ternyata tidak selamanya berlangsung. Pada usia keduapuluhtiga, ia mulai sadar bahwa tubuh dan seks adalah hal yang penting bagi perempuan. Ia percaya bahwa kesempurnaan hidup seorang perempuan adalah perkawinan. Srintil mulai sadar bahwa perkawinan adalah sesuatu hal yang sangat penting. Akan tetapi, eksploitasi seksual yang telah dilakukan terhadap dirinya membuat kendala psikologis untuk mrnikah dengan Rasus, laki-laki yang dicintainya. Rasus pun menolak dengan alasan bahwa Srintil adalah seorang ronggeng. Seorang ronggeng berarti adalah sundal. Hal itu tidak tepat untuk dirinya yang menjadi seorang tentara.
            Selain itu dampak lain dari eksploitasi seksual bagi Srintil adalah ia gila. Gangguan psikologi yang parah dialami Srintil adalah gila atau gangguan jiwa. Hal ini disbebkan oleh ketenarannya ketika menari ronggeng dalam kancah pemilu (politik 1965). Ketika itum ia mengabdi kepada tokoh yang terlibat pada pembantaian jenderal-jenderal di Jakarta. Ia pun menjadi tersangka utama dalam pembantaian itu. Anehnya, Srintil tidak mengerti tentang politik. Ia terjebak dalam politik. Ia pun dipenjara.
“Ada suara perempuan mengisak diantara tahanan yang berjejal itu. Dalam sedetik lintasan tidurnya dia menggunting alam nyata dan terbang dalam hidup yang biasa, hidup bersama suami dan anak-anak. Tetapi, ketika tersadar didapati dirinya terbenam dalam ruangan penuh sesak oleh manusia sepenagnggungan, dalam kelengasan udara yang lembab oleh uap air kencing dan keringat. Dia terus mengisak. “ (Tohari, 2004: 248)
Srintil gila. Gangguan jiwa itu lebih disebabkan oleh cinta yang dimilikinya tidak terwujudkan untuk memiliki Rasus atau Bajus. Bajus, lelaki yang juga dicintainya ternyata impoten. Ia pun tidak jadi menikah dengan Bajus. Penderitaan Srintil tidak berakhir disitu, ia sangat terluka, ternyta, Bajus yang impoten menjual dirinya kepada kontraktor ternama asal ibu kota. Inilah yang membuatnya gila. Sementara itu, Rasus tidak menyangka jiak Srintil gila.
“Terasa urat-urat pengikat semua sendi tubuhku melemah. Apa yang terungkap oleh mata amat sulit karena menjadi pengertian dan kesadaran. Srintil yang demikian kusut dengan celana kotor sampai ke lutut serta kaos oblong yang robek-robek. Srintil yang duduk diatas sesuatu, mungkin kotorannya sendiri. Srintil hanya menoleh sesaat kepadaku lalu kembali berbicara sendiri. Dan pelita kecil dalam kamar mandi itu melingkupi citra punahnya kemanusiaan pada diri bekas mahkota Dukuh Paruk itu.” (Tohari, 2004: 395).
Unsur-unsur feminisme yang terdapat pada novel ini begitu terasa salah satunya disebabkan karena novel ini mengangkat isu ketimpangan gender. Novel ini mengisahkan relasi antara perempuan dan laki-laki di daerah pedalaman, tepatnya di dukuh paruk. Energi ideologi gender yang diangkat dalam novel ini berlatar kehidupan seorang penari ronggeng di masa isu pemberontakan komunis di Indonesia.

Daftar rujukan
Tohari, Ahmad. 2003. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Wellek, Rene dan Warren, Austin. 1995. Teori Kesusastraan (terjemahan Melani Budianta).Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.  
Yasa, I Nyoman. 2012. Teori Sastra dan Penerapannya. Bandung: Karya Putra Darwati

No comments:

Post a Comment