Cerpen Pipiet Senja (Republika,
17 Januari 2016)
Lakon Lama ilustrasi Rendra Purnama
Telah beberapa bulan ibuku harus dirawat. Keluhannya tak lain sakit kepala yang menghebat. Migrain, katanya. Kemarin kami sudah menjemputnya. Ibu harus banyak istirahat di rumah. Tiap pagi aku sibuk bantu Emih, melayani para pembeli, saatnya banyak orang belanja. Ikut membungkusi, itu pun kadang masih harus diperbaiki oleh nenekku.
“Sudah, beli makanan sana,” usir Emih bila sudah tak tahan lagi dengan
kelakuanku. Aku berjingkrak kegirangan, berlari menuju jongko Mih Ocah, penjual
serabi. Sebetulnya penganan yang paling kusukai adalah cendil Ceu Anik.
Penganan terbuat dari sagu, dipotong kecil-kecil, warna-warni. Rasanya manis
dan gunyal-ganyel di lidah. Emih akan marah kalau memergokiku
makan cendil buatan Ceu Anik.
“Pake pewarna, tak bagus buat anak-anak. Nanti jadi penyakit.”
Mulanya aku tak paham dengan sikap nenekku terhadap Ceu Anik. Belakangan aku
pun mulai bisa menilai. Ceu Anik kalau jualan tidak kira-kira. Dandanannya
terlalu menor, erok ketat lehernya belah. Belum lagi riasan
wajahnya, pipinya merah-merah macam habis digampari.
Aku akan keluyuran di sekitar pasar. Menyusuri deretan warung dan jongko
sepanjang Tagog. Mengamati macam-macam dagangan dari satu jongko ke jongko
lainnya. Usiaku tujuh tahun, kelas tiga SD. Aku sudah menyukai hal-hal yang
biasanya luput dari pengamatan anak-anak sebayaku. Mungkin karena hobi baca,
sering tualang bersama karya para penulis dunia yang kusimak.
Ibuku pernah berkata, kelak aku akan menjadi seorang polisi perempuan.
Biasanya segera dibantah ayahku. “Putrimu yang satu ini lebih berbakat menjadi seorang wartawan.”
Biasanya segera dibantah ayahku. “Putrimu yang satu ini lebih berbakat menjadi seorang wartawan.”
“Tikah!” Aku tersentak, terbirit-birit menjauhi Enjay, lelaki sakit jiwa
yang suka lontang-lantung di sekitar pasar Tagog. Padahal masih asyik
memperhatikan kelakuannya. Meracau riuh, senyum dan ketawa-ketiwi.
Emih melambaikan tangannya, mengawasiku dari depan jongkonya. Sudah lewat
Zhuhur, Emih mulai membenahi sisa dagangan. Biar gampang diangkut pulang.
“Nanti malam kita nonton sandiwara, ya Tik,” katanya
sambil makan siang yang terlambat. Nasi bekal dari rumah dicampur bakso Mas
Joro.
“Asyik!” Nyaris saja biji bakso loncat dari mulutku.
“Jangan ribut sama siapa-siapa. Kita pergi berdua saja.”
“Iya, janji tak bakalan bilang siapa-siapa. Apalagi si Arnie!” Adikku suka
ganggu saat enak-enaknya nonton sandiwara, muncul bodor
pimpinan Mang Obet, eh, malah merengek minta pulang.
Bakda Ashar Bi Eem datang lewat pintu dapur.
“Taya sasaha ieu teh, Eneng Tikah?” katanya menyelidik.
“Teu aya, nuju barobo da.”
Emih cepat menggamit lengan janda miskin itu ke biliknya. Sekilas kulihat
Bi Eem memberikan sesuatu ke tangan Emih. Nenekku memeriksanya sekejap. Tanpa
banyak bicara lagi menyelipkan upah ke tangan Bi Eem. Sebuah transaksi baru saja
berlangsung di depan mataku. Demikianlah nenekku. Saking hobi nonton sandiwara,
bila tak punya uang, menggadaikan kain batiknya.
Kulihat Arnie masih saja main dengan boneka. Kemarin aku melemparkan si
butut itu. Kesal, gara-gara benda jelek itu nyaris aku kehilangan buku
kesayangan. Arnie merobek beberapa halaman untuk selimut dedenya.
“Nanti malam aku akan diajak nonton sandiwara sama Emih,”
kuleletkan lidah, kugerak-gerakkan jari-jemari di sisi kedua telinga.
“Ikut!” jeritnya histeris.
“Ih, nggak boleh ikut, nggak boleh!”
Si cerewet abrut-abrutan sambil teriak-teriak.
Ada yang melongok dari jendela kamar depan. Pasti tidur Bapak terganggu.
Matanya merah, habis pulang konsinyir di markas tiga malam.
“Ada apa? Ribut terus anak-anak ini?” tanyanya terdengar kesal.
“Eh, ini si Arnie…,” aku tergagap ketakutan.
“Sudah anak-anak, mainnya jauh-jauh sana!” Ibu juga ikut melongok dari
jendela.
“Pengen ikutan nonton sandiwara!”
Emih muncul dari pintu dapur. Sekilas mengerlingku dengan kesal. Matanya
seolah berkata, “Kamu ini tak bisa dipercaya!” Aku hanya cengengesan.
“Katanya mau nonton sandiwara Mang Obet, Mih?” tanya
Bapak.
“Eh, iya, diajakin Eem.”
“Sekalian saja dibawa dua-duanya. Nanti ditambah buat jajannya.”
Bakda Isya bertiga sudah siap berangkat ke gedung sandiwara. Letaknya di
pusat kota, dekat alun-alun. Berjalan kaki menyusuri gang demi gang,
menyeberangi jembatan kecil Kali Cimahi. Malam Jumat banyak orang yang
menonton. Hari libur para prajurit yang sedang pendidikan. Cimahi pusat
pendidikan tentara, makanya disebut Kota Hijau. Para prajurit biasanya
jalan bareng, kostumnya sama, pet sama, perawakan mirip. Bahkan,
jalannya pun bak dipola, mirip.
Emih banyak kenalan di gedung sandiwara. Teteh Entin sering memberi
penganan. Teteh Entin melambai ke arah kami. Lusinan permen dalam sekejap sudah
memenuhi tas kecil kami. “Ih, barudak teh ngerakeun pisan, nya? Nuhun atuh,
Nyi Entin.” Teteh Entin menolak ketika nenekku akan bayar. Aku dan Arnie
segera berlarian menuju deretan bangku paling depan.
“Lakonnya Bangkit dari Alam Kubur. Asyik, ada kuntilanaknya!” aku menakuti
adikku. Arnie merinding, tapi pipinya gembil penuh permen jahe.
“Ingat ya, jangan minta pulang selagi rame!”
“Teteh nggak takut sama kuntilanak?”
Arnie menatap wajahku, setelah celingukan ke sana-sini. Seolah takut ada
yang mendengar omongannya.
“Ngapain takut, itu bohongan!”
“Kan ada kuntilanak!” Arnie makin merinding.
“Yang jadi kuntilanaknya juga Teteh kenal, pasti Ceu Lilis!”
Lakon sandiwara pun digelar. Baru dengar ilustrasi musiknya yang:haaauuung
waaauu, waaauu. Adikku kontan menangis, bahkan kemudian jerit- jeritan
segala.
“Takut, mau pulang!”
Akhirnya Emih memangku adikku dan menuntunku, balik menuju warung Teteh
Entin. “Nyi Entin, tolong nitip si Tikah. Adiknya ngadat!”
Sekilas kuperhatikan adikku menyusupkan kepalanya di dada nenekku.
Tak mau diturunkan lagi. Beberapa saat aku duduk manis di bangku depan warung Teteh Entin. Ada lelaki berewok menyambangi. Mereka asyikngobrol tak memedulikanku lagi. Aku pun lari, balik ke bangku depan. Menyusupkan diri di samping ibu-ibu.
Tak mau diturunkan lagi. Beberapa saat aku duduk manis di bangku depan warung Teteh Entin. Ada lelaki berewok menyambangi. Mereka asyikngobrol tak memedulikanku lagi. Aku pun lari, balik ke bangku depan. Menyusupkan diri di samping ibu-ibu.
Lakonnya sungguh menggelikan, menakutkan, menggemaskan. Konsepnya mirip
cerita film vampir Mandarin. Komedi, laga, drama, diselipi horor. Seorang
perawan dipaksa kawin dengan saudagar gaek. Si gaek malah hobi menganiaya
istrinya, Ceu Lilis. Ups, tokoh perawan itu, sampai tewas!
Puncaknya ketika kuntilanak menakuti ronda. Kelompok bodor Mang Obet,eksyen.
Ini yang paling kutunggu. Rame, heboh, pake jungkir-balik, nungginginpenonton segala. Pendeknya kenyang ketawa, diteror horor. Pagelaran sandiwara usai sudah. Layarnya pun diturunkan. Baru ngeh lagi, nenekku belum balik?
Ini yang paling kutunggu. Rame, heboh, pake jungkir-balik, nungginginpenonton segala. Pendeknya kenyang ketawa, diteror horor. Pagelaran sandiwara usai sudah. Layarnya pun diturunkan. Baru ngeh lagi, nenekku belum balik?
Aku terbawa arus manusia, terseret dan tergencet. Para penonton bak
ditumpahkan dari kapal. Tahu-tahu aku sudah balik ke warung Teteh Entin. Tapi,
tak ada siapa-siapa. Saat itulah aku baru menyadari betul keadaanku. Bagaimana
mau pulang? Bingung, nangis sajalah. Tahu-tahu aku sudah
dikerumuni banyak orang.
“Nyasar, ya? Ke mana ortunya?”
“Seenaknya saja ninggalin anak! Keruan saja aku makin
kebingungan dan ketakutan. Teteh Entin cepat muncul, membawaku masuk ke
warungnya.
“Neng Tikah, memangnya ke mana saja? Dari tadi dicari-cari. Sudah, jangan
nangis lagi. Nanti diantar pulangnya, ya?”
Tak berapa lama Emih muncul jua. Emih memilih jalan protokol. Iyalah, siapa
lagi yang mau kucluk-kucluk jalan kampung? Tengah malam mesti
melewati jembatan dan kali, gelap, ada pohon warudoyong. Bagaimana kalau sudah
ditunggu kuntilanak?
Kuat-kuat kucekal ujung kebaya Emih. Lewat jalan protokol pun sepi dan
lengang. Tak tampak sepotong manusia pun kecuali kami. Sudah lewat tengah
malam. Saatnya manusia tenggelam dalam lautan mimpi. Semeter, dua meter, saat
melintasi gerumbulan pohon beringin. “Emih, Tikah seperti lihat kuntilanak?”
“Pssst, jangan omong sembarangan. Mending baca ayat-ayat suci!” Melangkah
lagi, mengintil di belakang Emih. Tapi, bayangan Ceu Lilis dalam kostum
kuntilanak, perasaan makin banyak, makin banyak. Beterbangan ke arahku.
“Aku mau merem saja.” Tanganku kian kuat-kuat memegangi
ujung kebaya Emih.
Kadang pindah mencengkeram tangannya. Beberapa meter masih berlangsung aman sampai tiba-tiba, jidat kananku menabrak tiang listrik.
Kadang pindah mencengkeram tangannya. Beberapa meter masih berlangsung aman sampai tiba-tiba, jidat kananku menabrak tiang listrik.
Berhenti lagi, Emih memeriksa jidatku. Diusap-usap, ditiup sedikit. “Sudah,nggak apa-apa.
Cucu Emih Encun mah jagoan. Baru juga beberapa meter kembali
jidatku nabrak tiang listrik. Kali ini yang sebelah kanan. Aku
mulai menjerit, marah dan sakit!
Emih merandek lagi, memeriksa jidatku. Kali ini sambil baca mantra segala.
Jangan ganggu cucuku, ini cucu buyutmu juga, Embah.”
Kalimatnya terputus oleh suara aneh, ampun. Tiang kurang ajar itu lagi-lagi
sukses gemilang menghajar jidatku, total: tiga kali!
“Embung, siah! Teu sudi teuing, nyeri!”Aku nangis histeris,
menggeloso di jalanan, guling-gulingan. Emih menyeret tanganku. Kadang tubuh kecilku
diangkat, diseret, diangkat. Demikian terus menghabiskan sisa perjalanan sampai
rumah.
Begitu sampai di rumah, Emih kewalahan nyaris membanting tubuhku di tengah
rumah. Semua penghuni rumah menyaksikanku guling-gulingan, jerit- jerit
kesakitan. Beberapa waktu aku tak pernah mengintil nenekkunonton sandiwara.
Nenekku juga terpaksa menghenti kan hobinya. Tapi, begitu tak ada lagi yang
mengingat peristiwa malam itu, aku pun kembali mengintil nenekku. Nonton sandiwaralah,
Brow! (*)
No comments:
Post a Comment