Tuesday, July 19, 2016

Cerpen Kui yang Mencekik



Cerpen Eko Triono (Media Indonesia, 10 Januari 2016)
Kui yang Mencekik
KASMADI Ceceng menghadapi badai masalah dalam kerodong sarung bau lumpur dan koyo sakit gigi yang tak hangat lagi. Adalah hal gila berbagi masalah dengan sampah sungai yang lewat. Apalagi dengan bunga waru kuning yang jatuh dalam hening. Tapi kalau ditahan sendiri, kepalanya bisa jadi balon stres dan dar! Meledaklah jiwanya.
Kasmadi Ceceng bangkit dari duduknya di pinggir kali. Dengan sipat-kuping ia melesat: lepas tambat perahu, ambil dayung kayu, ia belah sungai dan waktu. Lalu perahu sampai di Pelatar—pulau kecil di tengah sungai. Ia ambil galah lanjaran kacang panjang, dan dalam suasana subuh ia lari mengejar kucing-kucing liar di Pelatar. Ia kejar mata yang menyala. Ia lempari. Ia kesandung tegalan, terjerembap belumbangan kebun, terseok tanaman mentimun, tapi ia terus berteriak, ngamuk dengan galah ke arah ngiau kucing liar, ke arah ngiau dalam diri.
Sampai ia lelah, berkeringat, lega, lalu jatuhkan diri. Dan, ia tertidur di atas rumput gerinting berembun, berkalung sarung bau lumpur, berada di sana seolah janin tua yang meringkuk di rahim semesta.
Seperti anggota bajak laut yang sial, Kasmadi Ceceng bangun melihat matahari Rabu dalam keadaan miring di pulau tengah Serayu. Ia sedang menyingkirkan belalang rumput di hidung saat melihat orang gila buangan meloncat-loncat menggapai pisang kluthuk masak di ujung kebun. Kasmadi Ceceng mengenal betul pulau kecil Pelatar ini, sebagaimana ia mengenal jumlah kancing bajunya sendiri. Di tahun-tahun yang ikut terkubur lumpur, Kasmadi muda, yang belum beroleh gelar ‘ceceng’, telah tercatat menemukan pulau itu selepas banjir bandang. Ia menandainya dengan kibaran sarung dan celana dalam setinggi tiang bendera kebangsaan.
Dalam beberapa tahun, pulau itu semakin bermanfaat sebagai ladang pertanian yang subur dan tempat pembuangan kucing, juga orang gila. Namun, menemukan Pelatar tidak membuat Kasmadi Ceceng dikenal mulia atau digunakan dalam peta, dan disebut dalam sejarah lokal. Ia malah dikenal dengan cara mengenaskan. Perhatikan kejadian yang sudah lama terjadi berikut ini.
“Masih saja ngurusi itu, Ceng?” Di warung bawah waru doyong pinggir kali. “Belum kapok apa? Udah nguras semua yang kamu punya.”
“Kiu!” Kasmadi Ceceng mengambil, kemudian menyorongkan benda itu dalam lingkaran pemain lain. “Nggak usah cerewet, Lik!”
Ia tak peduli. Kepada benda dari kertas yang mengandung kemungkinan itu Kasmadi Ceceng telah mempertaruhkan impian terbaik, sekaligus rasa sakitnya. Ia telah sampai menjual pulau penemuannya. Perahu kayunya. Sandal jepit dan pipa tulang kalongnya, bahkan mempertaruhkan dirinya sebagai bahan tertawaan orang. Sudah sejauh itu ia berkorban, apa pantas ia menyerah? Ia mesti menuntut balik kartu-kartu. Menuntut kemungkinan yang bersembunyi di dalamnya. Kemungkinan untuk jadi kaya lagi, jadi bahagia lagi.
Ia bersumpah akan terus bermain kartu mulai dari ceki, remi, dan domino. Ia ingin kembalikan harta dan harkat diri. Peduli setan omongan orang! Orang cuma bisa ngomong, tapi jarang mau menolong. Diam saja saat badai masalah meniupkan beban ke rongga kepalanya, mencekik urat nyawanya.
Di usianya, yang Januari nanti 48 tahun, Kasmadi Ceceng adalah penjudi kolot. “Hidup,” katanya, “hanya mampir judi.” Sesaat kemudian setelah mengisap lisong, “mampir judi, mampir main kartu! Kalau tidak kartu remi, ya kartu pulsa, kartu nama, kartu ATM, kartu tanda penduduk, kartu pemungutan suara, atau kartu kiu!”
Kasmadi Ceceng tertawa bersama orang-orang di pinggir kali tempat tambang pasir tradisional. Itu waktu-waktu badai pertama datang meniupkan masalah ke dalam kepalanya. Menantunya, Senin itu, dikabarkan tenggelam bersama perahu pasir di muara dan hilang ke Samudera Hindia, saat sore mengarah jarum empat seperempat.
Dalam benak Kasmadi Ceceng, menantunya bukan hanya lelaki baik, dalam arti tidak ikut campur soal kegilaan judi mertuanya, tapi juga membantu menjaga kepulan asap dapur rumah bersama. Tapi kematian itu, di mata Kasmadi Ceceng bukan cuma kehilangan. Ada soal lain. Biayanya bikin pusing, mulai dari kenduri hari pertama sampai acara hari keseribu. Ia perlu siapkan makanan dan uang saku, juga sarung-sarung buat bingkisan.
“Pusing itu karena uangmu habis buat judi terus!” Kimah, istrinya menuding. “Apa kalau mati, kamu nggak mau dikirim doa?”
“Jangan keras-keras ngomongnya, gigiku mulai sakit. Duh, sarungku bau lumpur.”
Kimah masam di pinggir kali. Ia memunguti kepiting-kepiting di jaring buat dipelas, dijual keliling. Kasmadi Ceceng pandai menjaring kepiting dengan alat khusus.
“Ya, mau, tapi apa mesti bayar orang buat kiriman doa?” Kasmadi Ceceng makin ngawur di hari Selasa. “Serombongan lagi. Kayak kerja saja, doa dibayar, ngaji digaji.”
“Hush, saru! Orang kalau nggak ngerti agama, ya kayak gitu,” Kimah ngelirik tajam. “Kamu itu udah tua, jangan taunya cuma kiu, remi, ceki. Sana cari tambahan hutang apa gimana.”
Di hari Selasa bulan ini, sebelum ia mengejar kucing-kucing liar, ia hendak main remi. Orang-orang ujung Lembah Serayu dikenal gemar main kartu seolah mereka bikin organisasi sosial. Ada hajatan, malamnya pesta main kartu. Ada wayang, di sudut rumah sekitarnya ada yang main kartu. Ada yang baru lahiran, sunatan, pernikahan, juga demikian. Tapi, tidak pada acara kematian. Seandainya di kematian juga diadakan pesta main kartu, maka benar apa yang dikatakan Kasmadi Ceceng soal hidup.
Hari itu Kasmadi Ceceng kembali dari dukun tua di Gunung Srandil, Ki Sangga Langit, setelah memberesi kepiting dan Kimah meminta dia cari hutang buat tambahan acara ngaji kematian. Ia telah merendam tangannya di bunga tujuh rupa dan meneteskan cairan yang entah apa pada matanya, agar matanya mampu menembus kartu-kartu lawan, agar tangannya mampu mengambil kemungkinan yang benar.
“Apa taruhanmu?” Sakimun mendesak.
“Nyawaku,” Kasmadi Ceceng menempelkan koyo sakit gigi di rahang kanannya.
“Nggak ada mewahnya membunuh orang. Kerja saja sana!”
“Bodoh! Nyawaku bisa kalian pekerjakan sampai mati.”
“Sudah, nguli pasir saja. Kamu udah nggak mampu kiu lagi. Kalau mau di sini, ya lihat saja. Ayo, bagikan!”
Mereka bagi kartu. Tempat mainnya di kebun sisi dipo pasir. Agak tersembunyi di antara pepohonan. Tempat itu memang dekat dengan tambang pasir tradisional. Perahu mesin hilir-mudik. Warung-warung mendoan, kopi, dan nasi rames, berderet. Kuli-kuli tambang pasir di sungai, mengangsur ke sisi sungai, dan memindahkannya ke truk dengan skop. Skop itu yang kemudian dituju oleh Kasmadi Ceceng setelah ia merasa dihina. Ia kembali ke tempat orang berjudi itu. Ia lemparkan ke tengah. Kartu dan kopi jadi kacau. Uang dan latu rokok jadi terserak. Sakimun marah. Bangkit. Berhadap-hadapan dengan Kasmadi Ceceng.
“Dasar rahang menceng, apa maumu?!” Sakimun mulai kasar, menyinggung fisik.
Kasmadi Ceceng menjawab dengan menyerangkan tangannya ke leher Sakimun. Cepat. Mencekik. Gagal dicegah. Sulit ditarik. Kasmadi Ceceng pakai jempot yang biasa digunakan untuk membunuh ikan dan menangkap kepiting. Ia pencet saraf kematian di sana. Hentikan napas Sakimun. Lima penjudi lain kalang kabut melihat Sakimun menggelepar di atas serakan kiu.
Kasmadi Ceceng sudah lari sipat-kuping, menghilang ke kebun-kebun jauh. Seharian orang-orang berteriak dan mencari. Namun, tidak ada yang lebih mengenal Lembah Serayu sebagaimana Kasmadi Ceceng, si penemu pulau Pelatar dan pemilik rahang miring yang konon ditampar gadis pengawal Ratu Gaib Laut Kidul waktu mau minta cium.
Rabu dini hari, Kasmadi Ceceng terlihat duduk berkerodong sarung bau lumpur dengan koyo sakit gigi yang tak hangat lagi. Ia melihat arus sungai dalam bias cahaya malam. Pikirannya menggelembung, hampir dar! Meledak! Lalu ia lampiaskan dengan mengejar kucing-kucing liar di Pelatar. Ia bangun, menyingkirkan belalang rumput, dan melihat orang gila yang meloncat-melanjak pisang kluthuk matang, mendekat. Kasmadi Ceceng cemas. Ia siaga, berdiri. Orang gila dengan sebebat kain di pinggang itu tidak ketawa-ketawa. Orang gila buangan itu malah senyum ramah menyodorkan pisang kluthuk.
“Makanlah,” sesaat kemudian, “aku ngerti susah pikiranmu.”
Orang gila mau mengerti? Ia curiga. Orang waras saja tidak peduli.
“Lihat itu,” orang gila menunjuk seberang sungai, “mereka mau cari kamu ke sini. Pergi cepat sana, atau kalau mau tetap di sini, pura-pura gila saja sepertiku. Itu pilihanmu.” Kasmadi Ceceng melihat dan mendengar dengan saksama orang gila di hadapannya, dan samar-samar ia seperti melihat diri dan mendengar suaranya sendiri. (*)


No comments:

Post a Comment