Cerpen Eko Triono (Media Indonesia, 10 Januari 2016)
Kui yang Mencekik
KASMADI Ceceng menghadapi
badai masalah dalam kerodong sarung bau lumpur dan koyo sakit gigi yang tak
hangat lagi. Adalah hal gila berbagi masalah dengan sampah sungai yang lewat. Apalagi
dengan bunga waru kuning yang jatuh dalam hening. Tapi kalau ditahan sendiri,
kepalanya bisa jadi balon stres dan dar! Meledaklah jiwanya.
Kasmadi Ceceng bangkit dari duduknya di pinggir kali. Dengan sipat-kuping
ia melesat: lepas tambat perahu, ambil dayung kayu, ia belah sungai dan waktu.
Lalu perahu sampai di Pelatar—pulau kecil di tengah sungai. Ia ambil galah
lanjaran kacang panjang, dan dalam suasana subuh ia lari mengejar kucing-kucing
liar di Pelatar. Ia kejar mata yang menyala. Ia lempari. Ia kesandung tegalan,
terjerembap belumbangan kebun, terseok tanaman mentimun, tapi ia terus
berteriak, ngamuk dengan galah ke arah ngiau kucing liar, ke arah ngiau dalam
diri.
Sampai ia lelah, berkeringat, lega, lalu jatuhkan diri. Dan, ia tertidur di
atas rumput gerinting berembun, berkalung sarung bau lumpur, berada di sana
seolah janin tua yang meringkuk di rahim semesta.
Seperti anggota bajak laut yang sial, Kasmadi Ceceng bangun melihat
matahari Rabu dalam keadaan miring di pulau tengah Serayu. Ia sedang
menyingkirkan belalang rumput di hidung saat melihat orang gila buangan
meloncat-loncat menggapai pisang kluthuk masak di ujung kebun. Kasmadi Ceceng
mengenal betul pulau kecil Pelatar ini, sebagaimana ia mengenal jumlah kancing
bajunya sendiri. Di tahun-tahun yang ikut terkubur lumpur, Kasmadi muda, yang
belum beroleh gelar ‘ceceng’, telah tercatat menemukan pulau itu selepas banjir
bandang. Ia menandainya dengan kibaran sarung dan celana dalam setinggi tiang
bendera kebangsaan.
Dalam beberapa tahun, pulau itu semakin bermanfaat sebagai ladang pertanian
yang subur dan tempat pembuangan kucing, juga orang gila. Namun, menemukan
Pelatar tidak membuat Kasmadi Ceceng dikenal mulia atau digunakan dalam peta,
dan disebut dalam sejarah lokal. Ia malah dikenal dengan cara mengenaskan.
Perhatikan kejadian yang sudah lama terjadi berikut ini.
“Masih saja ngurusi itu, Ceng?” Di warung bawah waru doyong pinggir kali.
“Belum kapok apa? Udah nguras semua yang kamu punya.”
“Kiu!” Kasmadi Ceceng mengambil, kemudian menyorongkan benda itu dalam
lingkaran pemain lain. “Nggak usah cerewet, Lik!”
Ia tak peduli. Kepada benda dari kertas yang mengandung kemungkinan itu
Kasmadi Ceceng telah mempertaruhkan impian terbaik, sekaligus rasa sakitnya. Ia
telah sampai menjual pulau penemuannya. Perahu kayunya. Sandal jepit dan pipa
tulang kalongnya, bahkan mempertaruhkan dirinya sebagai bahan tertawaan orang.
Sudah sejauh itu ia berkorban, apa pantas ia menyerah? Ia mesti menuntut balik
kartu-kartu. Menuntut kemungkinan yang bersembunyi di dalamnya. Kemungkinan
untuk jadi kaya lagi, jadi bahagia lagi.
Ia bersumpah akan terus bermain kartu mulai dari ceki, remi, dan domino. Ia
ingin kembalikan harta dan harkat diri. Peduli setan omongan orang! Orang cuma
bisa ngomong, tapi jarang mau menolong. Diam saja saat badai masalah meniupkan
beban ke rongga kepalanya, mencekik urat nyawanya.
Di usianya, yang Januari nanti 48 tahun, Kasmadi Ceceng adalah penjudi
kolot. “Hidup,” katanya, “hanya mampir judi.” Sesaat kemudian setelah mengisap
lisong, “mampir judi, mampir main kartu! Kalau tidak kartu remi, ya kartu
pulsa, kartu nama, kartu ATM, kartu tanda penduduk, kartu pemungutan suara,
atau kartu kiu!”
Kasmadi Ceceng tertawa bersama orang-orang di pinggir kali tempat tambang
pasir tradisional. Itu waktu-waktu badai pertama datang meniupkan masalah ke
dalam kepalanya. Menantunya, Senin itu, dikabarkan tenggelam bersama perahu
pasir di muara dan hilang ke Samudera Hindia, saat sore mengarah jarum empat
seperempat.
Dalam benak Kasmadi Ceceng, menantunya bukan hanya lelaki baik, dalam arti
tidak ikut campur soal kegilaan judi mertuanya, tapi juga membantu menjaga
kepulan asap dapur rumah bersama. Tapi kematian itu, di mata Kasmadi Ceceng
bukan cuma kehilangan. Ada soal lain. Biayanya bikin pusing, mulai dari kenduri
hari pertama sampai acara hari keseribu. Ia perlu siapkan makanan dan uang
saku, juga sarung-sarung buat bingkisan.
“Pusing itu karena uangmu habis buat judi terus!” Kimah, istrinya menuding.
“Apa kalau mati, kamu nggak mau dikirim doa?”
“Jangan keras-keras ngomongnya, gigiku mulai sakit. Duh, sarungku bau
lumpur.”
Kimah masam di pinggir kali. Ia memunguti kepiting-kepiting di jaring buat
dipelas, dijual keliling. Kasmadi Ceceng pandai menjaring kepiting dengan alat
khusus.
“Ya, mau, tapi apa mesti bayar orang buat kiriman doa?” Kasmadi Ceceng
makin ngawur di hari Selasa. “Serombongan lagi. Kayak kerja saja, doa dibayar,
ngaji digaji.”
“Hush, saru! Orang kalau nggak ngerti agama, ya kayak gitu,” Kimah ngelirik
tajam. “Kamu itu udah tua, jangan taunya cuma kiu, remi, ceki. Sana cari
tambahan hutang apa gimana.”
Di hari Selasa bulan ini, sebelum ia mengejar kucing-kucing liar, ia hendak
main remi. Orang-orang ujung Lembah Serayu dikenal gemar main kartu seolah
mereka bikin organisasi sosial. Ada hajatan, malamnya pesta main kartu. Ada
wayang, di sudut rumah sekitarnya ada yang main kartu. Ada yang baru lahiran,
sunatan, pernikahan, juga demikian. Tapi, tidak pada acara kematian. Seandainya
di kematian juga diadakan pesta main kartu, maka benar apa yang dikatakan
Kasmadi Ceceng soal hidup.
Hari itu Kasmadi Ceceng kembali dari dukun tua di Gunung Srandil, Ki Sangga
Langit, setelah memberesi kepiting dan Kimah meminta dia cari hutang buat
tambahan acara ngaji kematian. Ia telah merendam tangannya di bunga tujuh rupa
dan meneteskan cairan yang entah apa pada matanya, agar matanya mampu menembus
kartu-kartu lawan, agar tangannya mampu mengambil kemungkinan yang benar.
“Apa taruhanmu?” Sakimun mendesak.
“Nyawaku,” Kasmadi Ceceng menempelkan koyo sakit gigi di rahang kanannya.
“Nggak ada mewahnya membunuh orang. Kerja saja sana!”
“Bodoh! Nyawaku bisa kalian pekerjakan sampai mati.”
“Sudah, nguli pasir saja. Kamu udah nggak mampu kiu lagi. Kalau mau di
sini, ya lihat saja. Ayo, bagikan!”
Mereka bagi kartu. Tempat mainnya di kebun sisi dipo pasir. Agak
tersembunyi di antara pepohonan. Tempat itu memang dekat dengan tambang pasir
tradisional. Perahu mesin hilir-mudik. Warung-warung mendoan, kopi, dan nasi
rames, berderet. Kuli-kuli tambang pasir di sungai, mengangsur ke sisi sungai,
dan memindahkannya ke truk dengan skop. Skop itu yang kemudian dituju oleh
Kasmadi Ceceng setelah ia merasa dihina. Ia kembali ke tempat orang berjudi
itu. Ia lemparkan ke tengah. Kartu dan kopi jadi kacau. Uang dan latu rokok jadi
terserak. Sakimun marah. Bangkit. Berhadap-hadapan dengan Kasmadi Ceceng.
“Dasar rahang menceng, apa maumu?!” Sakimun mulai kasar, menyinggung fisik.
Kasmadi Ceceng menjawab dengan menyerangkan tangannya ke leher Sakimun.
Cepat. Mencekik. Gagal dicegah. Sulit ditarik. Kasmadi Ceceng pakai jempot yang
biasa digunakan untuk membunuh ikan dan menangkap kepiting. Ia pencet saraf
kematian di sana. Hentikan napas Sakimun. Lima penjudi lain kalang kabut
melihat Sakimun menggelepar di atas serakan kiu.
Kasmadi Ceceng sudah lari sipat-kuping, menghilang ke kebun-kebun jauh.
Seharian orang-orang berteriak dan mencari. Namun, tidak ada yang lebih
mengenal Lembah Serayu sebagaimana Kasmadi Ceceng, si penemu pulau Pelatar dan
pemilik rahang miring yang konon ditampar gadis pengawal Ratu Gaib Laut Kidul
waktu mau minta cium.
Rabu dini hari, Kasmadi Ceceng terlihat duduk berkerodong sarung bau lumpur
dengan koyo sakit gigi yang tak hangat lagi. Ia melihat arus sungai dalam bias
cahaya malam. Pikirannya menggelembung, hampir dar! Meledak! Lalu ia lampiaskan
dengan mengejar kucing-kucing liar di Pelatar. Ia bangun, menyingkirkan
belalang rumput, dan melihat orang gila yang meloncat-melanjak pisang kluthuk
matang, mendekat. Kasmadi Ceceng cemas. Ia siaga, berdiri. Orang gila dengan
sebebat kain di pinggang itu tidak ketawa-ketawa. Orang gila buangan itu malah
senyum ramah menyodorkan pisang kluthuk.
“Makanlah,” sesaat kemudian, “aku ngerti susah pikiranmu.”
Orang gila mau mengerti? Ia curiga. Orang waras saja tidak peduli.
“Lihat itu,” orang gila menunjuk seberang sungai, “mereka mau cari kamu ke
sini. Pergi cepat sana, atau kalau mau tetap di sini, pura-pura gila saja
sepertiku. Itu pilihanmu.” Kasmadi Ceceng melihat dan mendengar dengan saksama
orang gila di hadapannya, dan samar-samar ia seperti melihat diri dan mendengar
suaranya sendiri. (*)
No comments:
Post a Comment