M.SAHLI MUSTHOFA
2130710074
PBSI VC
ANALISIS RONGGENG DUKUH PARUK
Ronggeng Dukuh Paruk adalah sebuah novel
yang menceritakan kehidupan seorang ronggeng yang bernama Srintil. Novel ini
berlatar tempat di Dukuh Paruk. Dukuh Paruk merupakan sebuah kampung terpencil
yang merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Dawuhan. Sedangkan, latar waktunya
adalah sekitar tahun 1965-an.
- Tema
Ronggeng
Dukuh Paruk bertemakan tentang budaya, adat istiadat dan keterbelakangan. Masalah
adat.
Latar
Latar Tempat
Novel Ronggeng Dukuh Paruk berlatar
utama di pendukuhan yang bernama Dukuh Paruk.
Dua pululuh tiga rumah
berada di pendukuhan itu, di huni oleh orang-orang seketurunan. Di Dukuh Paruk
inilah akhirnya Ki Secamenggala menitipkan darah dagingnya (hal: 10)
Di tepi kampung
Di tepi kampung ini
menjadi latar rasus dan temannya Darsun dan Warta mencabut batang singkong yang
menjadi cerita pertama yang terdapat dalam novel (hal: 10).
Di pelataran yang membatu di bawah pohon nangka
Tempat tersebut
merupakan tempat srintil sering bermain dengan mendedangkan lagu kebanggan para
ronggeng. Selain itu di bawah pohon nangka srintil sering menari dan bertembang
(hal: 13).
Di halaman rumah
Kartareja
Tempat ini menjadi
bagian dari upacara sacral yang dipersembahkan kepada leluhur Dukuh Paruk
sebelum menuju pekuburan dukuh paruk (hal: 45)
Di Pekuburan Ki
Secamenggala
Latar ini syarat
srintil untuk menjadi seorang ronggeng yaitu srintil melakukan upacara
pemandian di pekuburan ki secamenggala (hal: 46)
Pasar Dawuan
Tempat ini adalah
tempat yang dituju rasus ketika meninggalkan Dukuh paruk. Hal ini secara
implicit terdapat dalam kutipan berikut.
“Sampai hari-hari
pertama aku menghuni pasar Dawuan, aku menganggap nilai-nilai yang kubawa dari
Dukuh Paruk secara umum berlaku pula di semua tempat (hal: 84).”
Di Hutan
Tempat ini menjadi
tempat berburu Rasus, Sersan slamet dan Kopral Pujo (hal: 95)
Di Rumah Sakarya
Latar ini menjadi
tempat pertama yang di datangi oleh perampok ketika ingin merampok harta milik
srintil, tapi saat itu srinti sedang berada di rumah kartareja, hingga akhirnya
perampok berbelok ke rumah kartareja (hal: 101)
Di Beranda Rumah Nenek
Rasus
Tempat ini
menggambarkan ketika rasus pulang kerumah neneknya ketika dia selesai menangkap
perampok yang ada di Dukuh Paruk, tapi kemudian di kembali menjadi tobang(hal: 103)
2.Latar Waktu
- Sore hari
- Tengah malam
- Tengah hari (Siang)
- Pagi
- Malam hari
- Tokoh dan Penokohan
Srintil : Sebagai seorang ronggeng yang cantik
berperawakan menarik serta perempuan yang sempurna fisiknya yang dianggap
sebagai titisan dari Ki Secamanggala.
Rasus: dilukiskan sebagai seorang pemuda rakyat biasa
yang tidak mempunyai status kebangsaan, tinggal di daerah terpencil yang
mempunayi status rendah, kurang pengetahuan serta mudah rapuh.
- Santayib memiliki sifat keras, tidak mudah
putus asa, dan penyayang.
- Istri santayib mempunyai sifat baik, patuh,
dan penyayang.
- Nenek Rasus, memiliki sifat penyayang,
sabar dan pikun.
- Sakarya, (kakek Srintil) memiliki sifat kolot, keras,
dan penyayang
- Nyai Sakarya (nenek
Srintil) mempunyai sifat penyayang, penyabar dan peduli kepada orang lain
(tetangga), namun dia tetap tunduk pada nasibnya sebagai rakyat kecil.
- Sakum memiliki sifat tekun,baik, optimis akan
hidupnya,.
- Ki Kertareja memiliki sifat kolot,
keras, penyayang, licik.
- Nyai Kartareja memiliki sifat materialistis,
pandai membujuk dan licik.
- Sersan Pujo mempunyai sifat baik dan
tegas.
- Alur Cerita
Cerita dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk
diawali dengan peristiwa yang menunjukkan alur mundur, yaitu peristiwa
malapetaka yang terjadi di Dukuh paruk akibat keracunan tempe bongkrek. Hal ini
tergambar dari kutipan berikut.
Sedangkan pada bagian kedua dan
seterusnya menggunakan alur maju yang menceritakan tentang inti dari cerita
novel Ronggeng Dukuh Paruk, yaitu kisah Srintil dengan Rasus dan kisah Srintil
yang menjadi Ronggeng.
Sudut Pandang
Orang pertama pelaku utama
Aku mengenal dengan
sempurna setiap sudut tersembunyi di Dukuh paruk. Ketika kartareja
bercakap-cakap dengan Dower, aku mendengarnya dari balik rumpun pisang di luar
rumah. (hal: 59-60)
Ronggeng Dukuh Paruk dalam Kajian Karya Sastra Feminis
Novel berjudul Ronggeng Dukuh Paruk ini bercerita tentang
seorang tokoh bernama Srintil yang menjadikan profesi ronggeng sebagai jalan
pilihan hidupnya di kala usianya yang tergolong masih sangat muda. Profesi
ini ia pilih karena sang tokoh memiliki bakat menari sedari kecil.
Siapa yang akan percaya, tak seorang pun pernah
mengajari Srintil menari dan bertembang. Siapa yang akan percaya, belum sekali
pun Srintil pernah melihat pentas ronggeng. Ronggeng terakhir di Dukuh Paruk
mati ketika Srintil masih bayi. Tetapi di depan Rasus, Warta, dan Darsun,
Srintil menari dengan baik …(hlm:13).
Novel ini juga mengangkat perempuan dari sisi seksual. Seks
digunakan dalam hal pemertahanan budaya di Dukuh Paruk. Srintil harus menjual
tubuh dan virginitasnya hanya untuk menghormati leluhur yang disebut Ki
secamenggala. Jual-beli tubuh, seks dan tubuh Srintil berusia dua belas tahun.
Srintil dalam usia itu belum tahu tentang arti keperawanan atau nikmatnya seks.
Srintil tokoh utama, hanya menuruti perintah dukun ronggeng, Nyai Kartareja.
walaupun indung telurnya dipijat hingga Srintil tidak hamil atau melahirkan
anak. Ini adalah sebuah penindasan dan pemaksaan perempuan terutama untuk
mengeruk keuntungan bagi laki-laki atau perempuan yang memeras, pemanfaatan
oerempuan terutama seks yang berhubungan dengan persetubuhannya dengan
laki-laki untuk keuntungan sendiri atau sebuah kelompok komunitas terhadap
perempuan dengan dalil pemertahanan budaya atau menghormati leluhur. Perempuan
digunakan sebagai alat untuk kepentingan tertentu. Millet mengatakan bahwa ini
sebagai “ politika seksual’. Eksploitasi seksual di dalam novel ini sangat
kental (intensif). Hal ini dibuktikan dengan teks-teks cerita dari awal hingga
akhir cerita memunculkan kisah berahi dan penindasan terhadap perempuan dari
sisi tubuh dan seks.
“Aku menduga keras Srintil mulai dihantui
kesadaran bahwa Nyi Kertaraja telah memijat hingga mati indung telurnya,
peranakannya. Suami isteri dukun ronggeng itu merasa perlu berbuat demikian
sebab hukum Dukuh Paruk mengatakan karier seorang ronggeng terhenti sejak
kehamilannya yang pertama….” (Tohari, 2004:90)
Millet menyampaikan bahwa perempuan sering diangkat dalam sebuah
karya sastra sebagai usaha “politika seksual”. Srintil digambarkan sebagai
tokoh perempuan yang selelu ditindas dan dimanfaatkan oleh Nyi Kartaraja agar
ia bisa hidup dan melangsungkan kehidupannya tanpa harus bekerja. Ini adalah
sebuah penindasan dan politisasi perempuan dengan mengatasnamakan buadaya untuk
menjual tubuh dan seksual perempuan. “Politika seksual” sering dilakukan tokoh
lainnya untuk mengekploitasi seksual Srintil. Pelaksanaannya dapat dilakukan
dengan beragam cara dengan alasan-alasan feodal, yakni manut atau patuh
terhadap kepada atasan. Hal ini dapat diperjelas dalam kutipan berikut.
“Kamu telah mengecewakan seorang priyayi: suatu
hal yang tidak layak dilakukan oleh orang dusun seperti kita ini. Oalah,
cucuku, kamu tidak menyadari dirimu sebagai kawula… kita kawula, kita wajib
tunduk kepada perintah, bahkan keinginan para penggawa itu. Menampiknya, sama
saja mengundang hukum. Nah, beranikah kamu melakukannya?” (Tohari, 2004:162)
Ekploitasi seksual yang menggambarkan tubuh dan
berahi sering diungkap dalam novel ini.
“Rasanya, sebagai anak laki-laki tak ada yang
salah pada tubuhku. Melihat Srintil telanjang bulat di hadapanku, aku teringat
kambing jantanku bila sedang berahi. Jantung memompa darahku ke segala penjuru.
Pada bagian organ tertentu, arteri begitu padat berisi darah hingga mengembung
dan menegang. Kehendak alam terasa begitu perkasa menuntunku bertindak.”
(Tohari, 2004: 67)
Tubuh perempuan terkadang sangat indah untuk
dilukiskan. Akan tetapi, pelukisan itu sering cabul dan merendahkan nilai-nilai
keperumpuanan. Tubuh telanjang milik Srintil adalah penggambaran tokoh dengan
mengekploitasi seks dan tubuhnya. Laki-laki dapat menikamti tubuh perempuan
secara gratis. Ini adalah sebuah bentuk eksploitasi seksual yang dilakukan
pengarang untuk menggambarkan tokoh Ronggeng Dukuh Paruk. Ronggeng menurut
versi Dukuh Paruk adalah perempuan yang manari dengansemangat berahi yang
tinggi. Selain itu, ronggeng harus melayani seks lelaki yang haus ketika
istri-istri mereka tidak dapat memuaskan nafsunya. Oleh karena itu, siapa pun
perempuan itu, termasuk Srintil harus melalui persyaratan ritual, yakni melalui
tahapan ritual bukak
klambu. Bukak klambu adalah
upacara dalam bentuk sayembara diperuntukkan kepada para lelaki yang ingin
menikmati tubuh perawan. Laki-laki yang mengikuti sayaembara ini harus
memberikan mas kawin atau harta kepada dukun ronggeng. Setelah itu, laki-laki
itu berhak untuk menikmati virginitas seorang perempuan calon ronggeng.
“Bagiku, tempat tidur yang akan menjadi tempat
pelaksanaan malam bukak klambu bagi Srintil tidak lebih dari sebuah tempat
pembantaian…. Sesudah berlangsung malam bukak klambu, Srintil tidak suci lagi.
Soal dia kehilangan keperawanannnya, tidak begitu terasakan….” (Tohari,
2004:53)
Kutipan itu adalah bentuk eksploitasi seksual terhadap
Srintil. Nyai Kartareja selaku dukun ronggeng memeras Srintil untuk memperoleh
harta dari para lelaki. Ini adalah sebuah penindasan terhadap perempuan.
Laki-laki diibaratkan memiliki kekuasaan dan harta. Perempuan hanyalah aset
yang bisa dijual dan dibeli. Perempuan adalah sebuah nasib yang tidak dapat
menolak kekuasaan laki-laki.
Penindasan dan pemaksaan
itu membuat Srintil kasihan kepada laki-laki yang dicintainya. Oleh karena itu,
sebelum upacara bukak
klambu, ia mempersembahkan
perawannya untuk Rasus yang mana pada saat itu, usia Rasus baru empat belas
tahun. Persetubuhan laki-laki dan perempuan pun terjadi di belakang rumah Nyai
Kartareja. Nyai Kartareja ketika itu terlalu sibuk untuk menawarkan tubuh dan
perawan Srintil.
”Srintil?” tegurku dengan suara berbisik. ”Jangan
terkejut. Aku Rasus.”
”Oh!” seru Srintil tertahan. Dia cepat bangkit,
merangkulku sekuat tenaga. ”Rasus. Dengar, mereka bertengkar di luar. Aku
takut, sangat takut. Aku ingin kencing!”
”Sudah kencing?”
”Sudah. Tetapi aku takut. Rasus, kau sungguh
baik. Kau ada di sini ketika aku sedang diperjual-belikan.”
”Ya.”
Masih merangkul kuat-kuat, Srintil mengisak.
Kubiarkan dia karena aku pun tak tahu apa yang harus kuperbuat. Kurasakan tubuh
Srintil hngat dan gemetar.
”Aku benci, benci. Lebih baik kuberikan padamu.
Rasus, sekarang kau tak boleh menolak seperti kaulakukan tadi siang. Di sini
bukan pekuburan. Kita takkan kena kutuk. Kau mau, bukan?”
“Sepatah kata pun aku tak bisa menjawab.
Kerongkonganu terasa tersekat. Karena gelap aku tak dapat melihar dengan jelas.
Namun, aku merasakan Srintil melepaskan rangkulanku, kemudian sibuk melepaskna
pakaiannya.
Tidak berbeda dengan pengalaman tadi siang di
Pekuburan Dukuh Paruk…..Aku tak dapat emlihat sosok tubuh Srintil dengan jelas,
meski aku yakin saat itu dia sudah telanjang bulat.
……Srintil merasakan sesuatu yang menyenangkan.
Tetapi entahlah karena aku hanya merasa telah memperoleh sebuah pengalaman yang
aneh.” (Tohari, 2004: 76)
Ronggeng Dukuh Paruk telah
menggambaran kesalahan pada cara masyarakat memandang seksualitas perempuan.
Resistensi perempuan dalam karya sastra Ronggeng Dukuh Paruh ini, Srintil akan dilihat sebagai bentuk
ketertindasan dan kekalahan perempuan dihadapan laki-laki. Srintil dalam
paparan tersebut, seakan merepresentasikan seorang perempuan yang tertindas,
objek kekerasan seksual, tidak berdaya sekaligus dianggap sebagai sosok yang
dipinggirkan, dimarjinalisasi, dilecehkan yang terkesan mengenaskan. Sebuah
kontruk identitas monolitik tunggal, sebagai korban budaya patriaki, tidak
berpendidikan, terikat tradisi, domestik, dan selalu menjadi korban.
Eksploitasi seksual dalam novel Ronggeng Dukuh
Paruk digambarkan ketika desa Alaswangkel menggelar upacara Gowok.
Upacara Gowok adalah uapacara pematangan laki-laki sebelum
memasuki masa pernikahan. Oleh karena itu, laki-laki itu harus diajarkan
berhubungan seksual dan cara-cara mengatur rumah tangga. Pada masa ini,
perempuan lagi-lagi dieksploitasi secara lebih dalam. Perempuan, Srintil,
selain harus melayani laki-laki, ia juga harus mengajari laki-laki yang sedang
diupacarai untuk berhubungan seksual. Pelajaran yang dilakukan Srintil kepada
laki-laki itu dari cara merangkul, mencium, sampai berhubungan seks.
“Seorang gowok akan memberi pelajaran kepada anak
laki-laki. Dari keperluan dapur sampai mempersiapkan seorang perjaka agar tidak
mendapat malu pada malam pengantin baru. “ (Tohari, 2004: 201)
Gowok akan mengajari laki-laki yang belum memiliki
pengalaman dalam mengarungi rumah tangga, terutama masalah seks. Waras adalah
tokoh yang diceritakan sebagai tokoh remaja yang diupacarai. Waras belum
memiliki wawasan tentang seks dan persetubuhan. Oleh karena itu, sebelum
memasuki masa perkawinan, Waras harus diajarkan seorang Gowok,
Srintil.
“Tidak, Kang. Nanti malam kita hanya akan tidur
berdua. Aku dan Kakang….
Waras bangkit memeluk Srintil, mendekapnya dan
menciuminya. Srintil pasrah saja.” 9Tohari, 2004: 214)
Menurut kajian feminis,
Srintil adalah perempuan yang selalu didudukkan sebagai pihak yang tertindas
oleh kekuasaaan laki-laki dan hegemoni adat yang ada di desa Dukuh Paruk.
Srintil tidak dilukiskan sebagai perempuan yang cerdas dan mandiri. Ia
dilukiskan sebagai perempuan yang patuh dan penurut. Ia lebih dilukiskan
sebagai penguasa ranjang untuk kehausan laki-laki. Ini adalah sebuah penindasan
terhadap perempuan.
Eksploitasi seksual oleh tokoh dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk memberikan dampak kepada tokoh perempuan Srintil.
Dampak dominan yang muncul adalah dampak psikologi. Dampak psikologi yang jelas
muncul adalah tentang hubungannya dengan laki-laki. Profesi Srintil sebagai
ronggeng ternyata tidak selamanya berlangsung. Pada usia keduapuluhtiga, ia
mulai sadar bahwa tubuh dan seks adalah hal yang penting bagi perempuan. Ia
percaya bahwa kesempurnaan hidup seorang perempuan adalah perkawinan. Srintil
mulai sadar bahwa perkawinan adalah sesuatu hal yang sangat penting. Akan
tetapi, eksploitasi seksual yang telah dilakukan terhadap dirinya membuat
kendala psikologis untuk mrnikah dengan Rasus, laki-laki yang dicintainya.
Rasus pun menolak dengan alasan bahwa Srintil adalah seorang ronggeng. Seorang
ronggeng berarti adalah sundal. Hal itu tidak tepat untuk dirinya yang menjadi
seorang tentara.
Selain itu dampak lain dari eksploitasi seksual bagi Srintil adalah ia gila.
Gangguan psikologi yang parah dialami Srintil adalah gila atau gangguan jiwa.
Hal ini disbebkan oleh ketenarannya ketika menari ronggeng dalam kancah pemilu
(politik 1965). Ketika itum ia mengabdi kepada tokoh yang terlibat pada
pembantaian jenderal-jenderal di Jakarta. Ia pun menjadi tersangka utama dalam
pembantaian itu. Anehnya, Srintil tidak mengerti tentang politik. Ia terjebak
dalam politik. Ia pun dipenjara.
“Ada suara perempuan mengisak diantara tahanan
yang berjejal itu. Dalam sedetik lintasan tidurnya dia menggunting alam nyata
dan terbang dalam hidup yang biasa, hidup bersama suami dan anak-anak. Tetapi,
ketika tersadar didapati dirinya terbenam dalam ruangan penuh sesak oleh
manusia sepenagnggungan, dalam kelengasan udara yang lembab oleh uap air
kencing dan keringat. Dia terus mengisak. “ (Tohari, 2004: 248)
Srintil gila. Gangguan jiwa itu lebih disebabkan
oleh cinta yang dimilikinya tidak terwujudkan untuk memiliki Rasus atau Bajus.
Bajus, lelaki yang juga dicintainya ternyata impoten. Ia pun tidak jadi menikah
dengan Bajus. Penderitaan Srintil tidak berakhir disitu, ia sangat terluka,
ternyta, Bajus yang impoten menjual dirinya kepada kontraktor ternama asal ibu
kota. Inilah yang membuatnya gila. Sementara itu, Rasus tidak menyangka jiak
Srintil gila.
“Terasa urat-urat pengikat semua sendi tubuhku
melemah. Apa yang terungkap oleh mata amat sulit karena menjadi pengertian dan
kesadaran. Srintil yang demikian kusut dengan celana kotor sampai ke lutut
serta kaos oblong yang robek-robek. Srintil yang duduk diatas sesuatu, mungkin
kotorannya sendiri. Srintil hanya menoleh sesaat kepadaku lalu kembali
berbicara sendiri. Dan pelita kecil dalam kamar mandi itu melingkupi citra
punahnya kemanusiaan pada diri bekas mahkota Dukuh Paruk itu.” (Tohari, 2004:
395).
Unsur-unsur feminisme
yang terdapat pada novel ini begitu terasa salah satunya disebabkan karena
novel ini mengangkat isu ketimpangan gender. Novel ini mengisahkan relasi
antara perempuan dan laki-laki di daerah pedalaman, tepatnya di dukuh paruk.
Energi ideologi gender yang diangkat dalam novel ini berlatar kehidupan seorang
penari ronggeng di masa isu pemberontakan komunis di Indonesia.
Daftar rujukan
Tohari, Ahmad. 2003. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Wellek, Rene dan Warren,
Austin. 1995. Teori
Kesusastraan (terjemahan
Melani Budianta).Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Yasa, I Nyoman. 2012. Teori Sastra dan Penerapannya.
Bandung: Karya Putra Darwati